Dewasa ini,
dunia seakan tanpa batas karena manusia dan barang dapat bergerak dan berpindah
dengan mudahnya dari Negara yang satu ke Negara yang lainnya. Informasi maupun
keadaan yang tengah terjadi di suatu Negara pun dapat di akses dengan gampang
oleh masyarakat yang hidup di Negara berbeda. Secara tidak langsung masyarakat
tidak hanya menjadi bagian dari komunitas suatu Negara melainkan juga telah
menjadi warga Negara internasional yang hidup di perkampungan global.
Seiring
dengan kemajuan media informasi inilah seringkali kita mendengar kata ISIS (Islamic
State of Iraq and Syam) atau yang populer dengan sebutan Ad-Da’is (Daulah
Islamiyah Iraq wa Syiria) baik itu melalui media televisi ataupun media cetak.
Memang bukan “barang baru” maupun “ wajah baru” yang hadir dari rahim
globalisasi saat ini. Terorisme serta Radikalisme telah ada ribuan tahun silam,
dalam sejarah Yunani kuno, Xenophon (430-349 SM) mencatat tentang pentingnya
memanfaatkan efek psikologis dalam perang. Menurutnya, semakin sulit sebuah
aksi diramalkan oleh musuh maka semakin besar aksi tersebut memberikan
kemenangan. Aksi-aksi rahasia tersebut akan menimbulkan kecemasan di pihak musuh,
meskipun kekuatan musuh bisa jadi lebih besar.
Bagaimana
dengan perkembangan dunia terorisme dan radikalisme di Indonesia yang
seringkali dikaitkan dengan agama mayoritas di negri ini, yaitu islam ? Apakah
hanya karena umat islam adalah mayoritas di negri ini hingga mereka berani
mendengungkan dengan suara lantang untuk berdirinya suatu Negara islam di negri
ini ? Mengkhianati pancasila serta ke-Bhinneka-an Tanah Air ? Mengkafirkan
sesama muslim yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka? Itu semua adalah
pertanyaan-pertanyaan yang selama ini seringkali dilontarkan kebanyakan
masyarakat kepada setiap orang yang melakukan aksi terorisme, terlebih lagi
seringkali yang melakukan aksi tersebut adalah seseorang yang beraliran “islam
garis keras”.
Kita tidak
langsung menjadi pembela islam hanya dengan mencantumkan label “Pembela Islam”
sebagai identitas diri kita. Membela islam tidak berarti menjadikan islam
sebagai palu godam untuk menggertak atau menghantam pihak lain yang dianggap
musuh, tanpa disertai dengan sikap adil dalam melihat masalah. Melalui ungkapan
“Pembela Islam” dengan mudahnya mengkafirkan sesama muslim, menyebut-nyebut thogut
terhadap ulama, aparat dan pemerintahan yang dipandang tidak sejalan dengan
pemikiran mereka. Sebagian dari mereka bahkan tampil menyuarakan itu lewat
mimbar pengajian, halaqoh dan ceramah ceramah di masjid secara provokatif
sehingga membuat ketidaknyamanan masyarakat.
Secara umum
paradigma hubungan antar agama dan Negara terbagi menjadi tiga, yaitu :
a). Paradigma Integralistik
Paradigma
ini memberikan konsep tentang bersatunya agama dan Negara (Ad-din wa
al-Daulah). Agama dan Negara dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Menurut
paradigma ini Negara merupakan lembaga politik sekaligus lembaga agama,
sehingga dalam wilayah agama juga wilayah politik.
b). Paradigma Sekuleristik
Paradigma
ini memiliki konsep bahwa antara agama dan Negara merupakan dua hal yang
terpisah. Paradigma ini menolak pendasaran agama kepada islam, atau paling
tidak menolak determinasi terhadap bentuk kenegaraan tertentu.
c). Paradigma Simbiotik
Paradigma
ini memiliki konsep bahwa antara agama dan Negara berhubungan secara simbiotik,
yaitu timbal balik yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain.
Dalam hal ini agama memerlukan Negara, karena dengan adanya Negara maka agama
bisa berkembang, sebaliknya Negara memerlukan agama karena agama dapat
memberikan bimbingan dalam bentuk etika dan moral serta nilai-nilai kebaikan
sehingga Negara dapat berkembang dengan baik.
Sejak awal
kelahirannya, Pancasila dimaksudkan sebagai dasar Negara Indonesia yang mampu
mengikat semua elemen bangsa yang terdiri dari berbagai macam unsur budaya,
etnis, dan agama untuk mendirikan suatu Negara persatuan dan kesatuan yang
berdaulat. Dalam perjalanannya sebagai dasar Negara, Pancasila ternyata
mengundang banyak perdebatan berkepanjangan bahkan sampai menimbulkan
pemberontakan secara fisik yang tentu saja memakan korban yang tidak bisa
dikatakan sedikit. Sebagai bagian dari mayoritas komponen bangsa, dalam
sejarahnya umat Islam pernah mengusulkan Indonesia menjadi negara Islam di
Majelis Konstituante.
Setelah
keruntuhannya masa orde baru yang melarang keras tentang berdirinya suatu
negara Islam di Indonesia serta pembatasan terhadap hak-hak untuk berpendapat,
terjadilah kebangkitan Politik Islam dan tumbuhnya kembali gagasan tentang
formalisasi syariat islam di Indonesia pada era reformasi. Setidaknya dapat
dibuktikan dan dilihat dari empat indikator, yaitu :
·
(Indikator
Pertama) Munculnya ormas islam lengkap dengan masanya, seperti Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI). HTI memandang bahwa “Al-din Wal Daulah” (Agama dan Negara)
adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu tujuan HTI adalah
kehadiran masyarakat yang diatur oleh hukum islam dan dipimpin oleh sistem khilafah
Internasional.
·
(Indikator
Kedua) Berdirinya partai politik – partai politik baru yang mencantumkan islam
sebagai asasnya. Pada masa orde baru, pemerintah menjadikan Pancasila sebagai
asas tunggal bagi kekuatan sosial dan politik di Indonesia. Pada era reformasi,
telah terjadi liberalisasi politik sehingga cukup banyak partai politik yang
baru berdiri tidak mencantumkan Pancasila sebagai asasnya, justru yang
dicantumkan sebagai asas partai adalah Islam,
·
(Indikator
Ketiga) Adanya tuntutan pemberlakuan Piagam Jakarta dalam konstitusi pada saat
berlangsungnya Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Piagam Jakarta merupakan bagian penting
dari tuntutan formalitas syariah islam, karena ia memberikan pijakan
konstitusi.
·
(Indikator
Keempat ) Munculnya gerakan penegakan Syariat Islam di daerah. Gerakan
pemberlakuan syariat islam tersebut juga mengarah kepada upaya pemberlakuan
syariat islam secara formal sebagai hukum positif dalam bentuk Peraturan Daerah
(Perda).
Keempat indikator tersebut telah menunjukkan
bahwa telah terjadi fenomena kebangkitan agama (islam) secara formal maupun
simbolik di dalam perpolitikan Nasional. Fenomena kebangkitan islam tersebut
merupakan respon muslim terhadap sekularisme barat dan dominasi terhadap dunia
islam, disamping respon terhadap krisis kepemimpinan dikalangan umat islam itu
sendiri. Dalam konteks Indonesia, krisis yang melahirkan rasa frustasi dan rasa
ketertindasan menempatkan wujudnya dalam bentuk sejumlah besar penyalahgunaan
oleh kaum elite yang menyebabkan maraknya korupsi,
lemahnya penegakkan hukum
dan ketimpangan ekonomi. Pada tingkat masyarakat, krisis tersebut berbentuk
meningkatnya kriminalitas. Pudarnya solidaritas serta merajalelanya tindakan
kemaksiatan. Hal ini menyebabkan merosotnya legitimasi sistem politik dan hukum
yang berbasis sekular. Maka muncullah keinginan untuk kembali kepada
nilai-nilai dan sistem yang berbasis islam.
Kontroversi usaha penerapan syariat islam dalam
konstitusi menyeret pada kecenderungan untuk mempertentangkan antara ajaran
islam dengan Pancasila. Kontroversi diatas telah membentuk polarisasi yang
dipandang sebagai hal yang bisa mengancam keutuhan dan kesatuan NKRI. Hal ini
mengingatkan kita pada Ultimatum Pendeta Oktavianus yang mengancam Indonesia
wilayah timur yang sebagai komunitas bermayoritaskan beragama kristen akan
memisahkan diri dari Republik ini jika Piagam Jakarta dimasukkan menjadi bagian
dari Konstitusi Indonesia.
0 Komentar