Bukankah sering kali kita mendengar
kisah-kisah para nabi dan rasul, baik
dari bangku sekolah, dari bacaan dan sebagainya, namun sungguh miris
sekali karena sebagian cerita yang sering terdengar itu banyak yang memberikan
kesan bahwa para utusan Allah. SWT. tidak terjaga dari perbuatan dosa dan
maksiat(ma’sum) dan hal ini sangatlah bersebrangan dengan paham ahli
sunnah wa al-jama’ah, yaitu meyakini bahwa para nabi adalah orang yang
terjaga dari dosa sekecil apapun itu,juga terlindungi dari perbuatan bersifat
manusiawi yang dapat menjatuhkan harkat
martabat kerasulan.
Kerancuan
tersebut disebabkan menafsirkan ayat alquran atau hadits yang berkaitan dengan
para rasul bertendensi pada pemahaman yang salah, riwayat-riwayat yang tidak
sah, bahkan ada yang mengaitkannya dengan cerita israiliyyat(cerita yang
di nukil dari yahudi bani isroil), sungguh menghawatirkan jika cerita tersebut
didapat dari musuh besar islam, yang sangat diragukan apakah dapat
dipertanggung jawab-kan kemurniannya?, atau malah mungkin telah sedikit
tercampur muatan sesat yang tanpa terasa tentu bisa menghancurkan islam .
Mungkin definisi ishmah sendiri banyak
dari kita yang sudah mengetahuinya, tapi penulis akan membagikan sedikit saja
sebagai pengantar dalam bahsan selanjutnya yakni tentang ayat-ayat yang
berpotensi merusak ishmah itu sendiri. Ishmah secara bahasa memiliki banyak arti seperti mencegah,
menjaga, kalung atau tali, Namun dalam kajian kali ini ishmah berarti
penjagaan allah pada Hamba-Nya dari hal-hal yang mengotorinya sebagaimana yang
dimaksud dalm firman Allah SWT. dlm
surat Hud ayat 42- 43,surat yusuf ayat 32,al-maidah ayat 67, al-ahzab ayat 17,
dan hadits tentang memerangi orang kafir riwayat imam muslim.
Sedangkan secara istilahya ishmah juga memiliki
berbagai macam arti namun tujuannya tetap sama, diantara definisi itu definisi
al-qodhi iyadl yang paling baik: kelambutan Allah yang membuat Nabi
melakukan kebaikan dan mencegahnya dari keburukan serta tetapnya ikhtiyar untuk
diuji[1].
Para ulama menambahkan meskipun itu perkara makruh dan dilakukan sebelum
kenabiyan.
Hingga dari pada itu para ulama sepakat bahwa
nabi terjaga dari perbuatan kufur baik sebelum atau sesudah menjadi nabi
sebagaimana penjelasan al-qadhi iyadh,.
Bahkan al-kamal Ibn al-Hamam mengatakan adapun kabar yang benar yang didapat dari
para pakar sejarah dan ahli akhbar adalah bahwa sesungguhnya tidak seorangpun
yang dipilih menjadi utusan berasal dari orang-orang yang telah menyekutukan
Allah Swt. walaupun hanya sekejap mata saja, orang-orang yang diutus Allah Swt.
hanyalah dipilih dari orang-orang yang bertaqwa, bersih dan terpercaya juga
masyhur nasab dan baik didikannya. al-Qurthubiy juga menyatakan; tidak dapat
diterima akal jika Allah Swt. memiliki utusan yang sebagian dari waktu-waktunya
ia lewati untuk tidak meng-Esa kan Allah Swt.
Sebenarnya terdapat satu golongan yang
berpendapat bahwa sah-sah saja jika masa kecil nabi pernah melakukan dosa kecil
maupun besar dengan alas an tidak ada dalil kongkrit baik itu dalil dari quran
hadits ataupun dalil rasional, namun pendapat ini terpatahkan dengan pandangan
mayoritas Mu’tazilah yang berendapat bahwa jika nabi pada masa kecil melakukan
dosa tentu ia akan di jauhi sebagaimana
umumnya manusia jika ia melihat orang lain melakukan dosa maka ia akan
menjahuinya.Begitupula maksiat para nabi juga terjaga dari hal ini , meskipun tidak semua maksiat adalah dosa
seperti orang gila minum arak, anak kecil berzina mereka berdua tidaklah ter-taklif dosa atas
perbuatan tersebut, namun kita sisi lain jika kita melihatnya kita dituntut
untuk nahy munkar, hal ini bukan karena mereka melakukan dosa, tapi
maksiat.
Dari kejelasan diatas, kita akan tambah
bingung dengan ayat-ayat yang banyak menjelaskan kemaksiatan para nabi. Penulis
hanya menyebutkan salah satunya karena banyak sekali ayat-ayat yang berpotensi
menghilangkan ishmah para nabi.
Seperti kisah nabi yusuf yang tertera dalam
surat yusuf ayat 24
“Sesungguhnya
wanita itu Telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yûsuf, dan Yûsuf
pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu Andaikata dia tidak melihat
tanda (dari) Tuhannya”.
Secara sekilas ayat di atas dapat
dipahami bahwa Nabi Yûsuf bermaksud melakukan perbuatan tercela dengan
perempuan yang telah menggodanya untuk berbuat zina andai saja Nabi Yûsuf tidak
melihat pertanda dari Allah Swt.. Namun, jika Nabi Yûsuf ingin melakukan hal
itu, artinya pernah terbesit dalam hatinya, keinginan untuk melakukan perbuatan
hina dengan imra-atu aziz, dengan demikian Nabi Yûsuf tidak lah terjaga
dari kemaksiatan hati, pemahaman seperti ini telah menyalahi aqidah ahlu
sunnah tentang ke-ishmahan Nabi.
Jika melihat dari ayat sebelumnya,
Nabi Yûsuf tidak memiliki keinginan sama sekali untuk berbuat zina dengan
perempuan itu melainkan berkeinginan menolak diri dari wanita itu, dengan cara
memukulnya, yang andai saja hal itu dilakukan maka akan membuat rugi Nabi Yûsuf
sendiri, sehingga Allah menjaga Nabi Yûsuf dari hal itu dengan menampakan tanda
kebesarannya[2].
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud kalimat وهم بها dalam ayat diatas adalah هم بضربها,artinya Nabi Yûsuf hendak ingin memukul perempuan itu karena
telah menggodanya namun Allah Swt. menjaganya dari perbuatan itu karena dapat
merugikan beliau. Adapun ayat sebelumnya berbunyi:
“Dan wanita (Zulaikha) yang
Yûsuf tinggal di rumahnya menggoda Yûsuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya)
dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yûsuf
berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh Rob-ku Telah
memperlakukan Aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada
akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu Telah bermaksud (melakukan
perbuatan itu) dengan Yûsuf, dan Yûsuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan
wanita itu Andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya (Qs. Yûsuf:
23-24)
Ayat ini secara jelas memberikan maksud Nabi tidak memenuhi akan
ajakan wanita tersebut untuk melakukan perbuatan tercela, dan upaya berlarinya
Nabi Yûsuf dari wanita tersebut menuju pintu dan pencegahan yang dilakukan oleh
wanita tersebut kepada Nabi Yûsuf dengan kekuatan. Hal ini menunjukan bahwa
yang memiliki keinginan buruk (merayu melakukan perbuatan tercela) adalah
Zulaikha’ dan keinginan Nabi Yûsuf adalah menolaknya. Sehingga tepat sekali
jika kalimat وهم بها di
atas diartikan dengan
هم بضر بها.[3]
Wallahu a’lam.
Penulis, sapaan akrabnya Elvin El - Fajrain, adalah mahasiswa Univ. Imam Nafie Tanger.. Yang sedang merampungkan jenjang S1nya.
[2] 104 Walaupun Nabi
Yûsuf As tidak menolak Siti Zulaikhâ dengan memukulnya akan tetapi Allah Swt.
telah memperlihatkan kebesaranya dengan terbuktinya bahwa Zulaikhâ lah yang
menggoda Nabi Yûsuf As sedangkan Nabi Yûsuf berusaha menolaknya yang terbukti
melalalui robeknya pakain Nabi Yûsuf diarah belakang yang menunjukan beliau
berusaha menolak godaan zulaikhâ dan justru berbalik bukti perbuatan zulaikhâ yang
ditolak Nabi Yûsuf As.
[3] Kesimpulan dari kitab I’lam al-muslimin bi ‘Ismah annabiyyin ,
al-‘alamah asy-syekh ishaq ibn ‘Uqail ‘Azuz al-Maky. Cet. Dar Ibnu Hazm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar