Sebuah cerita pendek, oleh : Nadia Abdurrahman
“Relung
mana yang lebih menderu selain saat cinta ditinggalkan di penghujung cita,
Hari mana
yang lebih menggugu selain saat kepergian dibiarkan berlalu tanpa disapa.”
Sejengkal jam sudah
melengser, siang akan berangkat naik, segera menemani matahari berjalan
menggantinya menjadi malam untuk pulang. Seperti hari-hari sebelumnya, hari itu
Bandara Soekarno-Hatta tetap sayup-sayup ramai.Lantainya kesat. Berpetak harum Indonesianya tetap
pekat. Harum sama yang sepanjang tahun dihirupi oleh setiap orang yang datang
atau bahkan akan menghilang. Pintu yang sejajar kokoh selalu menyambut berbagai
bentuk pasang sandal yang saling menyapa selamat datang.
Padahal malam
sudah sepenggal bergelayut di pelupuk bandara, tapi dia masih berjalan gigih
menghadang siapa saja di depannya. Sejenak ia pandangi sekitar, terlintas
bermacam orang silih hilir mengangguk pelan. Ada yang berjalan gontai, bertanya
mengapa aku harus pergi.Kesenyapannya direlung dada dia anggap semacam luka.
Namun ada pula yang menganggap hari itu adalah hari terperi karena sudah cukup
baginya untuk tegar menyimpan rindu yang meletup-letup selama ini, maka hari
itu sudah akan dibayar oleh peraduannya yang dinanti.
Sesosok gadis
tampak bingung diantara kerumunan lelaki dan perempuan, dia berlari kecil
dengan segenggam paspor di tangan. Kerudung biru yang terkibas angin bandara
sudah tak ia pedulikan berantakan kemana-mana, gamis panjang yang sederhana
ikut berlari senada dengan langkahnya. Sambil sesekali ia betulkan tas dalam
peluknya saat akan terjatuh karena goncangan tubuhnya berkali-kali. Nana
namanya, gadis berparas elok yang menggendong banyak tas di tubuh mungil nya
itu akan pergi melanjutkan pendidikannya di Negeri Sungai Nil, Cairo. Dengan tahi
lalat di dekat bibir membuat nya semakin sedap dipandang lagi, sekali lagi,
dan lagi.Apalagi kaca mata yang serasi dengan wajah kecilnya.Hampir sebagian
orang yang sempat melihat ibunya berkata “kamu cantik, seperti ibumu”.Padahal
kata-kata itu pelik untuknya. Bagaimana cara membayangkan wajah ibu –yang
katanya mirip itu- sedang sejak kecil dia tak tahu apa-apa selain foto kecil
hitam putih yang selalu terselip di buku telepon milik bapaknya. Ah, baginya
seorang ibu selalu indah, mau itu tampak ataupun tidak, hitam putih ataupun
berwarna.
Ada yang tak kalah indah tentang
wewarna untuk hidup dua puluh tahun nya. Tampak dari kejauhan ada lelaki yang
sudah menunggu nya di seberang sana. Sontak ia berhenti dari lari. Berjalan
perlahan mendekati lelaki itu sambil ia pandangi berkali-kali. Nana melihat
tubuh lelaki separuh baya itu bergetar di atas kereta roda.Hatinya seketika
sesak.Matanya berkaca. Langkahnya semakin dekat namun ia semakin lemas. Seakan
baru kemarin ia mengajak Nana lari pagi berdua sepagian. Atau sekedar Nana
menemaninya potong rambut di pinggiran jalan sesorean. Seakan baru kemarin juga
Nana di ajak lelaki itu pergi ke sebuah toko buku seharian, dan tanpa diduga
akan pulang dengan darah bercucuran karena mobil yang terguling jatuh ke
jurang. Kecelakaan itu pembubuh cerita awal dari segalanya.Kecelakaan yang
berhasil merenggut banyak kehidupan dan ingatan lelaki itu. Kecelakaan yang
ditakdirkan untuk merubah lelaki itu menjadi seperti seseorang yang dianggap lain
untuknya. Kini lelaki itu terdiam.Terkujur kaku tak sedikitpun melempar
senyuman.Sekalipun Nana semakin jelas mendekat, tak ada apapun dalam guratan
wajahnya, yang terpancar hanya wajah tua yang lelah. Mungkin, ia mulai lelah
dengan bertahun-tahun yang dihabiskannya di atas kasur saja. Setiap hari hanya
melihat Nana datang dan pergi sekolah tanpa mengenali siapa.Dia dingin.Tak
pernah menyapa walau hidup berdua dengan orang yang selalu menyiapkan mandi,
makanan dan keperluanya. Nana hanya akan tetap di anggap sebagai orang lain yang
kebetulan hidup dengannya.
“Nana sudah datang”.Ucap lelaki yang berdiri di
sebelahnya.Nama nya Mang Hadi. Adik dari Ibu dan sekaligus tetangga Nana yang
sejak lima belas tahun silam menolongnya dari kecelakaan lalu. Badannya gagah,
dengan lipatan kemeja yang sempurna, dia cukup tenang meyakinkan kaka iparnya
tentang kedatangan Nana. Rambut nya terbelah ke bagian kiri.Ia tampan, jiwanya
gigih, tampak segigih ia menggantikan bapaknya membiayai kehidupan Nana
sekeluarga selama ini. Ia sudah seperti bapak kedua baginya. Mang hadi tinggal
di belakang rumah Nana. Karena Tuhan belum mengaruniai mereka keturunan, dia
hanya berdua dengan istrinya. Namun dengan keluhuran pribadinya, Mang Hadi
selalu sabar tak banyak mengeluh atau berbicara, bahkan sampai sekarang baginya
kebahagiaan cukup sederhana.sesederhana hidup berdua dengan istrinya saja. dan
jika ibunya harus tahu, sesedarhana itu pula arti kebahagian bagi Nana,
sesederhana foto hitam putih yang mulai melusuh, yang selalu dia pandangi
disela pagi.
Nana sudah sampai, ia datang meraih tangan yang berkeriput nan
bergetar.
‘Bapak, seharusnya akulah yang lebih bergetar’.Getirnya
dalam hati.
Nana sudah jatuh terpungkur.Ia
rengkuh tubuh tua itu. Ada detak jantung yang terengal.hembusan nafas nya
terpacu cepat. Saat ia pandangi lamat-lama, tak ada apapun, selain sepojok mata
yang tertahan air mata.Walau entah saat itu getar dan airnya mata untuk siapa,
tapi Nana yakin bahwa lelaki itu tak mengenalinya.
“aku titip
bapak.” Lirihnya kepada Mang hadi.
Ketegaran
dalam hati Nana terselip seketika karena anggukan Mang Hadi kepadanya.Ia tahu
betul bagaimana Mang Hadi selalu menjaga janjinya, seperti janji lantang akan
membiayai sekolahnya sampai janji saat pertama kali Mang Hadi ingin menjaga ia
dan bapaknya, janji-janji itu selalu ia penuhi.
Sejenak ia menghilang. Mengemas
cinta-cita menjadi satu yang ia sebut saat itu sebagai derita. Angin malam
membawanya pergi. Deru mesin pesawat tak lebih kencang dari apa yang diteriakinya
dalam hati. Jauh bersamudera-samudera akan ia lewati. Sejauh Bumi pertiwi akan
ia tinggal sejengkal demi sejengkal kaki. Setegar laut yang memapah bumi,
sekuat itu pula ia menahan sesak yang menyempit dalam hati. Sekokoh itu pula ia
berangkat meninggalkan sesosok lelaki terkujur pilu yang membiarkan nya berlalu
tanpa disapa.
‘Indonesia, pangkuh aku lagi
hanya untuk bertemu lelaki ini.’ doa nya dalam hati.
***
Bandara Soekarno Hatta. Empat tahun kemudian.
Sebuah pagi yang dinanti.Dengan
badan bersandar embun. Nana tampak segar mencium bau yang tak dihirupnya sekian
lama. Bertahun-tahun di Mesir hanya membuatnya hafal dengan debu-debu kering.Ia
kenal betul dengan semburat lembab yang mengendap di hidungnya. Juga bangunan Spinx
yang berjajar datar tak seindah pemandangan bertebing-tebing berwarna coklat
khas Indonesia yang mengingatkannya kepada perpisahan tak terbata.Apalagi
lantai yang kesat ini. Ah, mengapa dia sesetia ini. Tak merubah dirinya
apapun.Tetap kokoh pun cantik. Menurut Nana, yang berubah hanya perasaannya,
kesedihan yang mendalam saat empat tahun silam dengan kebahagiaan tak tereja
saat sekarang. Bandara soekarno hatta, dalam pagi yang manja, hari ini adalah
hari yang terperi, karena sudah cukup baginya untuk tegar menyimpan rindu yang
meletup-letup selama ini, maka hari itu akan ia bayar kepada peraduannya yang
di nanti.
“Nana ..” Suara yang tak asing
menyapanya.
Ia menoleh. Mencari dari mana
suara itu berasal. “Nana ..” begitu lagi ia mendengar. Nana berputar, mencari
di sekitar.tak ada yang dikenalnya. Atau memang semua sudah berubah sedemikian
rupa sampai Nana tak mengenali negaranya?Tidak. Baginya tak ada satu hal pun
yang ia persilahkan untuk ia lupakan. Ia yakin tetap mengingat apapun, juga
siapapun. Ia tetap berputar. Sedang dalam percariannya, ia terhenti pada titik
yang tertuju ke arah seberang pintu kedatangan. Ada yang ia harapkan dari
sepotong sapaan yang berasal dari sisi itu. Adakah ia telah mengingat nya? Atau
hanya perasaannya saja?.
“Nduk, ini
disini”. Mang Hadi tampak melambaikan tangan dari kejauhan. Ah ternyata. Benar
saja.Yang mengingatnya dari berangkat sampai pulang memang Mang Hadi seorang.
Sedangkan Bapak, ia masih diam dengan hanya melihati sekitar bersama kursi
rodanya. Dan lagi, membiarkan tatapnya padaku tanpa seulas senyum dan sapa.
***
Sekotak pilu
Semburat
wajah-wajah bahagia saling bersautan.Pagi yang sederhana datang dengan banyak
orang berdatangan. Hari itu rumah begitu ramai. Matahari yang berterik hangat
begitu saja jatuh di pelupuk hatinya yang dalam. Baginya, bukan tentang secepat
apa ia akan disunting orang, melainkan kapan ia disunting dan diantar Bapaknya
dengan sadar mengingat nya sebagai anak perempuan yang sempat terlupakan. Bukan
Tuhan yang Nana salahkan.Melainkan dirinya yang tidak berhasil meninggalkan
memori apapun untuk bapak kenang.Nana sudah sandarkan segalanya.Jika hidup memang
tentang mengganti yang silih berganti.Nana sudah meniti.
Namanya Fajri.
Sejak lama ia mengagumi Nana di Cairo. Mereka berkuliah di fakultas yang sama, hanya
saja dia terpaut dua semester lebih tinggi dari Nana. Sejak kedatangan Nana
pertama kali di Cairo, lelaki itu sudah menyimpan niat untuk menyuntingnya.
Sedangkan Nana, dia acap kali menghindar karena setiap didekati, ia selalu
beralasan untuk lari. Tapi tidak untuk kali ini.Setelah mendengar tentang
kepulangan Nana ke tanah air, Fajri bergegas berkunjung dan menyampaikan
niatnya kepada Mang Hadi.Maka sampailah lelaki tampan bertubuh tinggi itu
datang jauh-jauh dari Malang bersama keluarganya hanya untuk menyunting sesosok
gadis yang mengumpat di balik pintu kamar.Nana, tetaplah gadis yang tak pernah
mau mengganti cintanya. Baginya, sebelum sesosok Fajri datang. Bapaknya adalah
lelaki yang lebih dulu mencintainya.
Di hari pertunangannya ia
mengumpat, seperti anak kecil yang ketakutan ia menyungkur badan dengan kaki
terlipat. Padahal kenapa lagi? Bukankah ia butuh lelaki yang mengingatnya
setiap detik? Bukankah ia sudah cukup lelah untuk menunggu cintanya pulang dan menjaganya
lagi?.Namun nyatanya tak sesederhana itu.Nana tetaplah gadis kecil bagi
bapaknya yang lupa. Nana akan tetap berhayal seberapapun lamanya jika suatu
saat bapak akan memanggilnya; “anakku, Nana”.
***
Terhitung sejak
hari itu, hari-hari dilaluinya dengan hangat. ia dekat seperti bulan kepada
malam. Ia manja tak mau cepat usang lalu pergi menghapusnya. Lima belas hari
menjelang hari pernikahan, tak ada yang ingin ia persiapkan selain untuk berjuang
menghabiskan hari-hari itu agar tetap di sampingnya. Kebetulan bapak hari-hari
itu sering tidak enak badan. Itu satu-satu nya kesempatan agar ia dapat
mendampinginya setiap jam. Biasanya bapak akan marah jika ia mendekat karena
merasa Nana adalah orang asing baginya. Jika Nana memanggilnya bapak ia akan dicibir.
Tapi kali ini tidak, seakan-akan ia tau akan waktu. Kini, setiap Nana mendekat,
dia tidak marah. Walau hanya terdiam, bapak akan menatapnya. Jika Nana
memanggilnya ‘bapak’, ia akan cepat menoleh. Apalagi jika menyuapinya makanan,
ia akan cepat mengangguk pelan. Hari demi minggu sampai ia sembuh dari sakit.
Ia tetap mau di sapa ‘bapak’ oleh perempuan yang tidak diingatnya itu.
“lekas sembuh, Pak..! Agar dihari itu kau akan melihat
putrimu menikah dengan lelaki yang tak kalah gagah darimu”. Seulas senyumnya
terpendar bersama doa.
***
Restu yang membiru
Sepenggal
matahari sedang naik.Bekas gerimis semalam masih tercium bau tanahnya. Tetesan
air bergericik dari atap rumah turun perlahan ke tanah basah. Seperti air hujan
itu, begitulah masih banyak sisa kepedihan yang belum terserap oleh relungnya.Sepagi
itu Nana pergi menghampiri bapaknya yang duduk terlamun dalam jendela kecil di
pojok kamarnya.Ia mendekat. Lalu duduk.Meraih kedua tangan kasarnya.Dengan mata
berkaca-kaca.
“Bapak, hari ini Nana akan menikah”. tangannya menyeka pipi yang
membasahinya tiba-tiba.Tak ada yang membuat raut wajah bapaknya
berubah.Mendengar itupun matanya tetap pergi dengan lamunan pagi. Tangannya tak
bergerak meski ia goncang dengan genggaman yang erat. Lemas sekali.Ia menunggu.
Jika saja sedetik bapak akan meliriknya. Namun tetap begitu.Nana merunduk,
mengumpat banyak bulir yang telah tertumpuk.
“dengan siapa? Lalu nanti bapak dengan siapa?”Selirih suara bening
terdengar dari mulut itu. Saat Nana mengangkat kepalanya terlihat ia tersenyum.
‘duh bapak, Nana tidak sedang bercanda!’ .Ia pandangi lekat-lekat.
Meyakinkan benar-benar apa yang baru saja didengarnya. Matanya sudah mau untuk
diajak bertatap. Nana tersungkur dengan tangan tersangkut erat. Pertanyaan itu,
mengapa ia bahagia saat mendengarnya?. Tanpa berfikir jawaban apa, ia segera
bangkit. Mengistirahatkan Bapaknya. Lalu pergi dari situ untuk menyambut hari
pernikahannya.
***
Kepada kedua cinta
Mang hadi sudah
nampak di tengah kerumunan orang.Jas hitam nya senada dengan kopiah hitamnya.
Benar-benar paman yang gagah dan tampan bagi keponakannya; Nana.Nana hanya
tertawa kecil saat pagi hari Mang Hadi mendatanginya ke kamar pengantin dan
memanggilnya ‘hay, calon pengantin’.Geli sekali.Setelah mendapat
pertanyaan dari bapaknya pagi tadi.Nana sedikit sumringah. Pertanyaan sederhana
itu ia artikan jauh sebagai sebuah restu seorang bapak kepada putrinya. Tak
apa. Setidaknya itu yang berhasil meredakannya.
Orang-orang
bergegas berkumpul di Masjid dekat rumah.Tanah yang becek tak menghalangi
semangat mereka untuk melihat prosesi akad nikah.Dari lelaki sampai perempuan
semua sudah duduk menanti pengantin pria segera datang.Nana tetap di
kamar.Berbalut gaun pengantin yang cantik walau dengan kegelisahan yang
terpancar.Ia tak bisa melupakan satu hal dalam hari bahagianya.Terlintas
tentang bapaknya yang sepagi tadi ia tinggal saat tertidur di kamar. Nana ingin
memastikan.Ia berkali-kali mencoba menelepon Mang Hadi. Untuk menanyakan
keberadaan bapaknya. Apa dia sudah di sana menghadiri prosesi akad nikah?.
“biarkan Bapak istirahat! dia sedang tidak enak badan”. Mang
Hadi meyakinkan.
Hatinya perih.Mendengar itu membuatnyaterluka
berkeping-keping. Padahal ia tak minta banyak. Hanya dihadirkan saja sudah
cukup.Hanya menyuruh bapak duduk seakan-akan dia tamu saja sudah hidup.Tapi
Mang Hadi tetap enggan.Justru membiarkan air matanya tumpah bercucuran.
Sayup-sayup
terdengar suara lantunan ayat suci Al-quran dari dalam kamar.Itu pertanda bahwa
acara telah dimulai.Nana berfikir, bagaimanapun caranya.Ia akan perjuangkan
agar bapaknya bisa menghadiri acara itu. Sedang jarak antara kamar pengantin
dengan kamar bapaknya terpaut jauh di lantai dua. Apalagi Masjid. Mungkin tak
akan sampai, malah-malah acaranya akan selesai di tengah jalan. Namun untuk
cinta yang besar, terkadang disitu logika tidak dibutuhkan.Ia keluar untuk
menjemput. Berjalan repot sambil menggenggam gaun pengantinnya yang panjang.
Orang-orang yang mencegahnya pergi, sudah tidak ia hiraukan lagi. Suara speaker
masjid semakin jelas terdengar.Ia berlari. Memacu segenap cinta yang tanpa dia
sadar telah tertanam sejak kecil.Setelah ini Nana ingin mengajaknya ke toko
buku bersama lagi, lari pagi, atau menemaninya potong rambut di pinggir jalan
lagi. Asal sekarang ia harus lihat, ada hal yang lebih penting dari sekedar mengingat-ingat
memori lama tentang siapa sesosok ‘Nana’. Biar saja membuat memori baru.Yang
lalu biarkan tak lagi ada.
“Jika bapak tidak bisa mengingat apapun, maka
rekamlah satu hal tentangku, yaitu tentang pernikahanku”.
***
Nana sudah
sampai. Di depan pintu coklat ia sempat berhenti sejenak. Tak ada
siapapun.Sepi.Hampir semua orang berkumpul di masjid.Ia tak sabar untuk meraih
daun pintu dan cepat masuk untuk segera mengajaknya keluar. Duh bapak, ternyata
masih saja tertidur pulas.Wajah tua nya terlihat lelah.selimut yang tadi pagi
ia pasang masih menyangkut rapih membungkus badannya sebagian.
“Bapak, ini Nana.Bapak harus bangun untuk melihat Nana dinikahkan”.Nana
tersenyum sendirian.Memandangi bapaknya yang tak kunjung bangun sampai-sampai
nana tak sabar.Ia menggerakkan badan bapaknya agar cepat sadar. Terpelak detik
itu juga rasanya mengapa dunia tak bergerak.
Ada yang merasup dalam hati begitu saja.tiba-tiba badannya
mendingin. Nana menggerakkan badannya sekali lagi.Begitu saja berkali-kali tapi
tetap bapak enggan membuka mata.
“bapak ..” begitu terus ia menggerakkan yang kali ini tepat di
wajahnya.
Berbondong orang mulai berdatangan.Mang hadi yang telah
selesai menikahkan juga datang.semua mata tertuju pada gaun pengantinnya yang
berjatuhan di lantai. badannya sudah lemas dan lelah.
“mang hadi ..”. isak tangis nya semakin terdengar. Nana hanya
memanggil pamannya agar ia di bantu berdiri untuk tegar.
Pagi yang kelam. mengapa semakin banyak yang menyelinap pagi
itu dalam hatinya yang telah lelah dan kusam. Ketakutan yang belum pernah ia rasakan.
Sempurna menggenapi air mata yang menggugu tak tertahan .
“Bapak bukankan kau bilang akan melihatku menikah?
Maka bangunlah!”. Pintanya sederhana.
Pagi itu berubah tertutup malam.Kegelapan awan seperti berbondong-bondong
mengalah untuk datang.Menyambutnya dalam dua hal yang berlainan.Menulisnya
dalam dua cinta yang salah satunya segera pergi ke pangkuan. Baru sedetik tadi
kebahagiaan direngkuhnya, kini sudah harus dikembalikan oleh pemilik yang Maha.
Baru akan ia titipkan sesobek cinta yang baru, kini ia jatuh cinta lagi untuk
cinta pertama yang ke sekian kalinya.
Orang-orang yang datang seakan hanya untuk menyaksikan tentang
hati yang tak mau diduakan.Tentang cinta yang hanya mau menjadi tempat
pulangnya. Lalu mengapa harus ada yang datang jika tahu akan ada yang
menghilang. Mengapa harus ada cinta kedua jika cinta pertama cukup untuk mengbuncah
hati manusia.
Tak ada yang mendua ..
Karena cinta pertama adalah sesederhana cinta
seorang putri kepada bapaknya.
Tangier, 050415
Tidak ada komentar:
Posting Komentar