Pertengahan tahun 2015 adalah saat istimewa seiring rangkaian
sejarah bangsa Indonesia. Karna baru saja Indonesia memperingati Hari
Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) Setidaknya pada bulan Mei tahun ini kita memeringati
dua momen besar yaitu,Hari Pendidikan Nasional (2 Mei 1889 – 2 Mei 2015) dan Hari
kebangkitan Nasional (20 Mei 1908 – 20 Mei 2015) yang akan dilaksanakan natinya.
Keduanya merupakan tonggak utama
penyokong berdirinya Negara – bangsa Indonesia (Nation state of Indonesia).
Pendidikan memerdekakan nalar pikir anak bangsa, sementara kebangkitan nasional
memerdekakan jiwa raga dari belenggu penjajahan.
Perayaan tentu tak etis hanya berakhir dengan perayaan itu sendiri yang
seringkali menyisakan romantisme semu serta pesta pora belaka tanpa kesadaran. Ketika berkesempatan
berkeliling kota, urat geli kita akan tergelitik oleh papan iklan sebuah
sekolah. Papan iklan itu terang – terangan menuliskan bahwa ada diskon 0% untuk
masuk sekolah “A” pada periode tertentu, lewat dari tanggal tersebut berarti
tidak ada diskon. Sang model dalam billboard (papan iklan) besar itu menurut
hemat kami lebih mirip seorang banker atau petugas perbankan, lebih mirip pengusaha atau bisnisman dari
pada pembawaan seorang pendidik. Dengan stelan jas necis serta senyuman ala
salesman, kita jadi berpikir iklan ini sedang menawarkan pendidikan atau jasa
pendidikan?
Jika Ki Hajar Dewantara masih hidup atau guru Umar Bakri itu sungguh nyata
adanya, tentu alis mereka akan berkerut melihat pendidikan Negara kita saat
ini, dan tentu mereka tidak akan tinggal diam menghadapi fenomena bisnis
pendidikan ini. Setidaknya bukan keadaan ini yang beliau kehendaki. Khusus Ki
Hajar Dewantara –pendidik dan pejuang bangsa – seorang yang menyadari
pentingnya investasi sumber daya manusia melalui pendidikan. Indonesia sebagai
negara yang mencantumkan cita – cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam
pembukaan undang – undang dasar, sudah selayaknya menjadikan pendidikan sebagai
prioritas dalam membangun bangsa.
Selama hampir 69 mendekati 70 tahun telah merdeka, bangsa kita justru seolah
kehilangan jati diri. Sekolah – sekolah merasa hebat jika bertarif mahal dan
berstandar internasional bahkan guru pun harus impor dari negri sebrang. Bahasa
Indonesia tidak lagi menjadi bahasa pengantar dan pemersatu di sekolah. Jika
begini keadaannya lalu dimana tempat untuk Indonesia: tanah air, bangsa dan
bahasa seperti yang dikumandangkan para pemuda pada tahun 1928? Apakah cukup
kata Indonesia dalam peta dunia, sedangkan Nusantara tak lagi dipenuhi “jiwa”
Indonesia?
Sekolah seperti yang ditulis seperi Louis Althusser merupakan salah satu
Idiological State Apparatus dimana negara bisa “memaksakan” idiologi, nilai
atau kehendaknya melalui institusi ini. Dalam arti positif, ia bisa menjadi
media ampuh menamkan rasa nasionalisme, cinta tanah air dan penghayatan pada
sejarah bangsa. Namun apa daya, pendidikan kita telah menjadi ajang mencari
untung. Penyelenggara pendidikan mencari untung dari biaya pendidikan yang
dibayarkan siswa, siswa juga mengadu untung dengan ijazah yang diperolehnya.
Pendidikan kemudian berbelok tujuan dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
menjadi upaya berburu legalisasi proses -belajar.
Padahal apakah benar sertifikat yang dikeluarkan lembaga pendidikan berbanding
lurus dengan kualitas apalagi kapabilitas intelektual peserta didik, apalagi
jika kelulusan masih ditentukan dengan uji penyeragaman seperti yang
berlangsung hingga saat ini? Anak SMP juga tahu UAN tidak memenuhi rasa
keadilan dan kemanusiaan. Tapi sudahkah para pengambil kebijakan yang mengemban
amanat rakyat memahami hal ini? Lagi – lagi adik – adik kita yang ada di SMP
dan SMA yang tahu jawabannya.
Keringat dan darah para pejuang pendidikan tak selayaknya dibayar dengan
“melacurkan” pendidikan dengan hitungan materi semata. Dalam iklim binis “jasa
pendidikan” seperti sekarang ini, wajar saja jika selama kurun puluhan tahun sejak Ki Hajar Dewantara merintis Taman Siswa
pendidikan kita tidak lagi melahirkan banyak pemikir besar sekelas Ki HD
sendiri atau rekan - rekan sezamannya seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, dan Tan
Malaka yang juga penggagas pendidikan untuk rakyat.
Indonesia bukanlah negara bangsa semata, tapi juga sebuah cita – cita bagaimana
umat manusia hidup bermartabat selaras dengan harkat kemanusiaannya di bumi
Nusantara. Jauh hari founding fathers kita sudah mengingatkan bahwa kemerdekaan
hanyalah jembatan emas menuju Indonesia yang adil makmur sejahtera, ingat hanya
jembatan. Karenanya dalam mengisi kemerdekaan, suara dan
keinginan rakyat adalah sabda yang harus didahulukan penyelenggaraannya, bukan
malah memperjualbelikan sesuatu yang memang hak rakyat; dalam hal ini
pendidikan atau hak untuk menjadi cerdas dan bermartabat.
02 Mei 2015 atau bertepatan dengan hari Sabtu.
Hardiknas pada tahun ini diharapkan bisa menjadi sebuah tonggak untuk
terwujudnya kehidupan bangsa yang cerdas dari berbagai aspek. Wajib pendidikan
yang dicanangkan oleh pemerintah diharapkan bisa menjadi motivasi tersendiri
bagi warga Indonesia yang berada di usia Pendidikan, Pemerataan pendidikan yang
menyeluruh menjadi modal dasar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tema
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2015 adalah “Pendidikan dan
Kebudayaan sebagai Gerakan pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter
Pancasila”. Melalui tema tersebut diharapkan pendidikan di
sekolah menjadi sebuah proses pembelajaran yang tidak hanya sekedar mengejar
Kecerdasan semata tapi lebih menjurus kepada pendidikan moral untuk membangun
generasi berkarakter pancasila, dan tentu hal tersebut juga harus disertai
fasilitas pendidikan yang memadai dan dapat dijangkau oleh perekonomian
masyarakat , bukan sekolah ala kaum elit yang hanya dapat dijangkau oleh
kaum-kaum berdasi di republik kita tercinta.
Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan nasional
Indonesia, Salah satu usaha beliau dalam mencari hak hak untuk rakyat indonesia
dalam memperoleh pendidikan ditengah penjajahan masa lalu, sesaat itu
berlangsung diskriminasi pada warga Indonesia dengan tidak bisa belajar, walau
demikian cuma anak anak dari orang Belanda saja yang bisa mengenyam bangku
pendidikan, maka siapakah yang bisa kita samakan dengan kaum penjajah jika
pendidikan di Indonesia jika terjadi fenomena bisnis pendidikan seperti ini.
selamat hari pendidikan nasional tanggal 2 mei 2015 !!!!
wallahu a’lam;_
Biodata Penulis:
Nasma : SAHRIZAL AMRI
Tempat/tanggal lahir : Bathin
Baru,23 Juni 1994.
Nama sekolah/universitas : IMAM NAFIE
Alamat sekolah/universitas : Tanger
Nomor telepon seluler : 0601115329
Alamat e-mail : amry_aditya@rocketmail.com
Alamat e-mail : amry_aditya@rocketmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar