Jika ada 3 orang pria ditanya tentang apa yang
akan mereka lakukan di pagi hari, maka mereka akan menjawab dengan jawaban yang
berbeda, atau bisa saja sama, namun dengan alasan yang berbeda. Katakanlah 2
orang diantara mereka memilih untuk bermain sepak bola, yang pertama karena
ingin menyalurkan hobinya, dan yang kedua karena ingin menjaga kesehatan.
Sementara yang ketiga memilih belajar untuk persiapan ujian.
Tak bisa dipungkiri bahwa segala sesuatu yang
manusia lakukan tak bisa lepas dari niat mereka. Niat juga lah yang pada akhirnya
membedakan nilai dari suatu pekerjaan yang kita lakukan, apakah itu bernilai
ibadah, atau amalan biasa.
Namun niat seseorang
tidak lah hadir tanpa sebab, dibalik itu ada alasan yang berperan besar
menggerakkan seseorang untuk meniati dan pada akhirnya melakukan sesuatu. Saat pria
pertama diatas meyakini bahwa olahraga sangat penting bagi kesehatan, maka ia
akan sangat berjibaku untuk melakukannya, tidak peduli ujian yang ia hadapi.
Begitu juga dengan pria ketiga yang memilih belajar. Kegagalan dan kebodohan
menurut dia jauh lebih menakutkan dari pada sekedar hilangnya kesehatan,
sehingga ia tidak akan peduli dengan alasan menjaga kesehatan, meski ia juga
mengerti bahwasanya olahraga sangat penting untuk kesehatannya.
Hal ini lah yang juga
sangat mempengaruhi seseorang dalam meninggalkan suatu perbuatan dosa atau
melakukan kebaikan. Bukan hanya masalah halal atau haram, sunah atau mubah, namun
ini adalah tentang bagaimana ia memandang suatu pekerjaan itu. Pandangan ini
lah yang kelak menjadi alasan dan mendorong seseorang untuk berani melakukan
hal yang haram sekalipun, ataupun melakukan hal yang hanya sekedar sunnah.
Seseorang berani
mencuri walaupun dia tahu bahwa hal itu tidak baik dan dosa, bahkan Allah
mengancamnya dengan adzab yang pedih. Haram nya uang hasil curian tidak lagi
menjadi pertimbangan, karena kebutuhan akan uang jauh lebih nyata di mata nya
dibandingkan bayang bayang dosa dan ancaman neraka.
Pun demikian dengan
seseorang yang selalu menjalankan shalat berjamaah lima waktu di masjid. Meski
ia tahu bahwa itu bukan lah sesuatu yang wajib, tetapi ia pasti memiliki alasan
untuk tetap pergi ke masjid dalam keadaan apapun. bisa saja ia menganggap adzan
sebagai panggilan Allah yang tak sepantasnya ditunda tunda. Atau mungkin saja
karena naungan Allah untuk para pemuda yang menggantungkan hati nya pada masjid
jauh lebih nyata dibanding sebuah kata “Ah. Itu kan cuma sunnah” atau alasan
lain.
Lalu dari manakah alasan itu timbul ? dari ilmu
kah? banyak kita melihat orang orang meninggalkan sesuatu atau mengerjakan
sesuatu setelah pengetahuan mereka akan sesuatu. Ambillah contoh misalkan
beberapa orang yang tiba tiba menjadi sangat gemar bersedekah setelah mengikuti
kajian Ustadz Yusuf Mansyur. Atau orang orang yang berhenti pacaran setelah
membaca buku Ustadz Felix Siauw. Dan sebagainya.
Namun, kita juga banyak temui sebagian orang yang
juga ikut kajian kedua ustadz itu, namun tak kunjung jua menjadi ahli sedekah
atau meninggalkan pacaran. Lantas, dari manakah alasan itu muncul?
Jika kita kembali menilik alasan sebagian orang
yang “tidak tersentuh” oleh kedua ustadz tadi, maka kita akan sering menjumpai kata kata “saya belum menapat
hidayah”. Pun demikian dengan orang orang yang enggan melakukan berbagai macam
amalan amalan sunnah (misalnya). Tak jarang hidayah selalu menjadi “kambing
hitam” atas kemalasan kita untuk menjadi lebih baik. Lantas, Apakah sebenarnya
hidayah itu ? Ada apa dengan nya ? mengapa ia selalu menjadi kambing hitam kita
? siapakah orang yang mendapatkan hidayah ?
Hidayah pada hakekatnya adalah petunjuk menuju
jalan yg lurus. Setiap muslim pun selalu memintanya kepada Allah setiap hari
dalam shalat mereka. Lalu, apakah setiap muslim yang shalat termasuk
“muhtadiin” atau orang orang yang mendapatkan hidayah? Jika bukan, lalu
siapakah mereka ?
Kalau dalam tafsir surat al fatihah, kita akan
temui bahwa orang orang yang mendapatkan hidayah itu adalah orang orang yang
tidak butuh banyak nasehat untuk melakukan kebaikan. yakfiihim al qoliil minal wa’dzi. Mungkin
golongan ini bisa kita sandarkan kepada golongan pertama dalam contoh diatas
yang langsung berubah setelah mendapatkan ilmu, tidak seperti sebagian golongan
kedua yang masih mencari alasan lagi untuk berubah.
Baik lah, sebagai penutup tulisan ini, saya ingin
meminjam bahasa para ahli hikmah yang mengatakan bahwa puncak kenikmatan adalah
ketika Allah menetapkan hambanya pada ibadah kepada Nya. Nah, yang menjadi
pertanyaannya adalah, bagaimana Allah akan menetapkan kita pada ibadah, atau
katakanlah kebaikan, jika kita tidak pernah memulainya.
Disini penulis mencoba untuk menarik kesimpulan
bahwa jika seseorang ingin “mendapat hidayah”, maka ia harus memulai untuk
melakukan kebaikan, hingga Allah memberikan alasan alasan pada diri kita yang
menyebabkan kita tetap teguh dalam kebaikan tersebut.
*sekedar urun nalar segala keterbatasan perangkat
yang ada. Hehehe...#sruput sek kopineeee
Penulis bernema lengkap arif afandi zarkasyi, adalah mahasiswa S1, yang sedang merampungkan jenjang studinya di Universitas cadi ayyad marrakech.
contak : aryfafandy@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar