§
Wahdatul
Wujud
Wuhdatul wujud adalah sebuah
pola pemikiran atau paham yang mengajarkan penyatuan diri dengan Tuhan. Entah
siapa yang pertama kali mencetuskan istilah dari paham ini. Namun Syaikh Yûsuf
al-Khatthar menjelaskan, istilah tersebut memiliki dua kandungan arti, yakni
arti yang benar dan tidak (dengan kata lain akan berimbas pada kekufuran). Oleh
karena itu menurut Syaikh Yûsuf al-Khaththâr orang yang menggunakan istilah ini
terbagi menjadi dua kelompok;
Pertama, yakni mereka yang mengartikan istilah tersebut dengan penyatuan
pencipta dengan makhluk, tiada satupun yang wujud terkecuali Dia, segala
sesuatu adalah Dia dan Dia pun adalah segala sesuatu itu dan segala sesuatu
adalah tanda dari pada-Nya. Menurut Syaikh Yûsuf al-Khaththâr pemahaman
demikian adalah kufur dan zindiq (atheis) dan sangatlah sesat melebihi
kesesatan orang-orang Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala (pagan). Kaum sufi
pun yang dikatakan pencipta teori ini mengingkari jika istilah tersebut
diartikan demikian.
Kedua, Ulama’ mengatakan batal dan kufur
pada kelompok sebelumnya yakni mereka yang mengatakan Tuhan adalah bentuk asli
dari makhluk. Mereka mengarahkan demikian karena istilah wuhdatul wujud diarahkan
pada al-qodim azali(dzat yang terdahulu yang bersifat azali)
yakni Allah yang tiada keraguan dalam ke-esaan-Nya, bukan diarahkan pada al-wujud
–al-‘irdly (kewujudan yang bersifat baru datang dan berjumlah) karena
memandang bahwa sesuatu yang baru datang bersifat majazi dalam wujudnya,
yang pada mulanya tiada menjadi ada, atau yang pada mulanya ada dalam ketiadaan
kemudian menjadi tiada dalam keberadaanya, yang tiada memiliki unsur yang dapat
memberikan manfaat atau marabahaya. Sehingga dari hal ini, dapat disimpulkan apapun
itu jika bersifat baru datang, maka hakikatnya tiada, dan dapat sirna setiap
saat. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qoshsahs ayat 88 [1]
“janganlah kamu sembah di samping (menyembah)
Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala
penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.
§ Fanâ’
Begitupula Fanâ’ yang secara bahasa berarti sirna,
namun dalam dunia tasawwuf. Fanâ’ oleh segolongan kelompok
diartikan anggapan atas ketiadaan makhluk(atau sifat makhlukiyah) oleh
seorang hamba layaknya sebelum diciptakan, serta tetapnya Allah Swt.,[2] menurut Ibnu Taimiyyah Fanâ’ terbagi menjadi tiga macam;
1. Fanâ’ yang
dilakukan para Nabi dan para wali, artinya menghilangkan keinginan pada
sesuatu selain Allah Swt., dengan gambaran mereka hanya mencintai Allah,
beribadah kepada-Nya, berpasrah diri kepada-Nya dan tidak berharap kepada
selain-Nya. Arti ini semakna dengan ungkapan Syaikh Abû Yazîd al-Busthomiy; “keinginanku
adalah tidak menginginkan sesuatu kecuali yang diinginkan oleh-Nya”.
2. Fanâ’ yang
dilakukan oleh orang-orang yang ingin menjadi kekasih Allah dalam arti
seseorang tersebut tidak menganggap keberadaan apapun yang ia lihat dengan mata
kepalanya selain Allah. Karena ketertarikan hati yang terus terseret untuk
senantiasa mengingat Allah, beribadah dan mencintai-Nya disertai lemahnya hati
untuk menyaksikan pada perkara lain selain yang ia sembah, dan memandang sesuatu yang bukan
dituju, dan tak terbesit dalam hatinya sesuatu selain Allah Swt.
3.
Fanâ’ yang dilakukan oleh orang-orang munafik yang menyimpang yakni
meyakini tidak ada yang wujud kecuali Allah, dan wujudnya pencipta berarti
adalah wujudnya sesuatu yang diciptakan, sehingga antara Tuhan dan hamba-Nya
tiada perbedaan.[3]
§ Hulûl
Dan yang terakhir adalah hulûl atau bisa digambarkan,
menitisnya Tuhan kepada setiap benda atau makhluk ataupun sebaliknya.[4]
Sebagaimana wuhdatul wujûd, hulûl juga masih diperselisihkan
keberadaanya. Karena jika memang teori ini benar ada, jelas akan adanya
penyatuan dua hal yang berbeda yakni hamba dan Tuhannya. Padahal sifat-sifat
ketuhanan tidak dapat melekat padanya. Lebih jelasnya dalam masalah hulûl terdapat
dua kesimpulan;
1. Dalam masalah hulûl terjadi praktek menitis atau menempati.
Sedang menitis itu sendiri adalah menempatinya satu bentuk pada bentuk yang
lain. Lalu, bagaimana mungkin Dzat yang terbebas dari istilah bentuk
dapat dikatakan menempati pada suatu bentuk. Bukankah hulûl terjadi
karena penyatuan dua hal atau dua benda. Sedangkan penitisan Tuhan pada makhluk
atau sebaliknya tidak terjadi dari dua hal yang sama-sama miliki sifat Jisim,
2.
Penisbatan
antara sifat atau jiwa pada sebuah elemen atau bentuk. Karena sifat
atau jiwa akan berdiri dengan adanya elemen atau bentuk. Maka dapat dikatakan,
bahwa jiwa atau sifat adalah keadaan yang terjadi dalam sebuah elemen atau
bentuk, dan mustahil dapat berdiri sendiri. Sedangkan Allah bukan jiwa, atau
sifat, elemen atau bentuk.
Maka tidak dapat dikategorikan ada,
istilah hulûl tersebut. Karena setiap sesuatu yang berdiri sendiri
mustahil menitis pada sesuatu yang berdiri sendiri kecuali dengan jalan
tersusun atau dengan berjejernya sesuatu yang menitis dan yang dititis diantara
beberapa bentuk atau sosok. Sehinggga dari sini praktek hulûl tidak
dapat digambarkan, baik itu terjadi sesama makhluk lebih-lebih dengan Tuhan
yang bersifat metafisik. [5]
Syekh Muhyi ad-Dîn Ibnu ‘Arabiy dalam karya monumentalnya Futuhat
al-Makkiyah yang dikutip oleh Syaikh Yûsuf mengatakan; “Sebagian dalil
untuk menolak hulûl dan ittihad yang sebagian cendikiawan salah paham akan hal
itu, adalah kamu mengetahui bahwa dalam rembulan tidak ada sesuatu bagian dari
matahari. Sedangkan (cahaya) matahari adalah sesuatu yang terpindahkan pada
rembulan sebab bentuk (karakteristik) matahari itu sendiri, jadi rembulan hanya
sebagai tempat pantulan bagi cahaya matahari. Hal ini sebagaimana hamba yang
tiada satupun unsur atau elemen ke-Tuhanan didalamnya dan tiada penitisan sama
sekali”.
Begitu pula, Syaikh Muhyi ad-Dîn berkata; “Seandainya manusia
dapat naik tingkatan dari derajat kemanusiaannya, juga malaikat dari
kemalaikatannya, maka akan terjadi perubahan keaslian dan Tuhan pun akan keluar
dari ke-Tuhanan-Nya, lalu menjadi makhluk, bahkan sesuatu yang mustahil
wujudnya pun akan menjadi hal yang wajib”.[6]
Muhammad Elvin Fajri Rahmika. Mahasiswa s1, Univ.Imam Nafie Tanger - Morroco
[1] Dr. Yûsuf
Khatthar, Mausu’ah Yusufiah, (Damaskus: Mathba’ah Nadlr cet. ke-2, 1999
M.), hal. 438
Tidak ada komentar:
Posting Komentar