Oleh : Ziyan Al Ghifari
Mahasiswa tahun kedua universitas
Caddi Ayyad Marakech
Perkembangan mazhab-mazhab dalam islam
sudah berlangsung sejak lama. Seperti yang kita kenal bahwa ada 4 mazhab yang masih
eksis sampai sekarang, mazhab yang memiliki tonggak yang kuat dan masih utuh berdiri
selama ratusan tahun. Mazhab-mazhab tersebut adalah mazhab Hanafi, mazhab Maliki,
mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali. Perlu
kita ketahui bahwa mazhab-mazhab fiqih tidak hanya terbatas 4 itu saja, sebenarnya
sudah ada puluhan mazhab lainnya yang telah lahir pada saat itu. Sebut saja mazhab
Imam al-laitsi, mazhab Sufyan Ats-sauri, mazhab Imam Al-auza’i, dan mazhab-mazhab
fiqih lainnya.
Namun seiring perkembangan fiqih islam, pendapat-pendapat
mereka tidak dipakai lagi, dan murid-murid mereka tidak meneruskan apa yang di ajari
gurunya tersebut. Faktor lain juga karena murid-murid mereka kurang melakukan tadwin,
atau menulis apa yang telah disampaikan oleh guru-gurunya. Oleh karena itu, tadwin
atau menulis sangatlah penting. Salah satu wujud latihan menulis di era modern ini, ya dengan menulis di blog termasuk juga di
program mingguan menulis yang digalakkan PPI Maroko ini, hehe. Kembali ke tajuk
kita yakni bersyafi’i di negeri Maliki. Fokus kita disini adalah membandingkan mazhab
syafi’i yang diikuti mayoritas muslim Indonesia dan mazhab Maliki yang diikuti oleh
mayoritas muslim Maroko.
Mazhab Syafi’i
yang inisbatkan kepada Imam As-syafi'i oleh pengikutnya tersebar terutama di Indonesia,
Irak, Syria, Mesir, Somalia, Yaman, Thailand, Kamboja, Vietnam, Singapura, Filipina,
dan Sri Lanka serta menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.
Sedangkan mazhab
Maliki didirikan oleh Imam Malik bin Anas. Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika
Barat dan Utara,seperti Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Sahara Barat,
Senegal, Gambia, Niger, Nigeria, dan lainnya.
Pada awalnya mazhab Maliki berkembang didaerah
Madinah, sebab Imam Malik sendiri merupakan seorang ulama yang lahir dan tumbuh
besar di kota Madinah, maka salah satu metodologi istinbath hukum yang dilakukan
Imam Malik adalah dengan melihat amalan penduduk Madinah pada waktu itu. Imam Malik
sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal
Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits
yang shahih pada umumnya.
Mazhab Maliki
ini di anut oleh hampir 100% penduduk Maroko. Karena memang dalam perundang-undangan
mereka tertulis bahwa mazhab aqidah resmi adalah aqidah Asy’ariyah, mazhab fiqih
resmi adalah Malikiyah, dan dalam tasawuf Imam Al Ghazali, ditambah mazhab resmidalm
qiroat adalah qiro’at warsy dari nafi’. Hal ini berbeda dari kita di Indonesia
yang sudah lama dididik dengan mazhab syafi’I, karena memang Indonesia salah satu
basis negara bermazhab Syafi’i di dunia.
Sebagai Mahasiswa
Indonesia yang notabene sudah dididik sejak lama dengan mazhab Syafi’i tentu ini
merupakan sebuah kendala, apalagi ketika baru-baru tiba di Maroko. Bagaimana cara
kita bisa mengoptimalkan ke’’syafi’ian’’ kita di negeri maliki ini. Karena mau tidak
mau pasti kita akan sering ditegur oleh orang-orang Maliki di sini, apalagi masyarakat
Awam.
Contohnya ketika
duduk tasyahud dalam sholat. Pernah saya ditegur sehabis sholat oleh orang Maroko
di samping saya ‘’hei kenapa kamu tidak menggerak-gerakkan jarimu tadi saat tasyahud?’’
lalu saya bilang, “saya mazhab Syafi’i, dan menurut mazhab Syafi’i, isyarat jari
itu tidak digerak-gerakkan. Seandainya digerak-gerakan, hukumnya makruh, namun tidak
membatalkan shalat karena gerakannya sedikit, di lain pendapat mazhab syafi’i bahwa
mengangkat telunjuk dimulai dari kalimat illallah sampai akhir tasyahud’’.
Lalu dia tetap membantah “di dalam mazhab Maliki
harus menggerak-gerakkan telunjuk mulai dari awal sampai akhir tasyahud, walau kamu
mazhab syafi’i kamu harus ikut kami pendapat maliki, karena kamu berada di sekitar
orang-orang Maliki’’ wah, nyali saya agak ciut nih, soalnya beliau menegur pas setelah
salam akhir sholat, banyak orang menoleh ke arah kami. Ya sudah, saya ucapkan aja
syukron, dan tidak mau memperpanjang masalah.
Kasus ini tidak hanya sekali, tetapi sering terjadi.
Maklumlah mereka masih asing dengan kita orang Asia Tenggara yang memang berlandaskan
mazhab Syafi’i. Lagipula kenapa kita masih risih mengurus jari telunjuk orang di
samping kita?
Di lain kasus,
ketika wudhu misalnya. Pernah lagi saya ditegur oleh penjaga tempat wudhu di masjid
dekat rumah saya. Perlu diketahui bahwa kebanyakan
masjid di Maroko ini ada penjaga toilet dan tempat wudhu, mereka menjaga tempat
air panas yang terdapat hampir diseluruh masjid Maroko. Tujuannya agar jama’ah tidak boros menggunakan
air panas ini, sehingga bak ini ditunggu
oleh seorang yang ditugaskan oleh takmir masjid, selain juga mengawasi sumbangan
infak yang ada di depan pintu masuk toilet tersebut.
Ketika saya
selesai berwudhu’, sang penjaga tadi menegur “wudhu kamu tadi tidak sah, karena
rambut kamu tadi tidak di usap seluruhnya”. Lalu kalimat pamungkas pun saya keluarkan
“afwan, ana indunisiy syafi’iyul mazhab, dalam mazhab syafi’i tidak disyaratkan
untuk membasuh seluruh bagian rambut tetapi cukup minimal 3 helai saja”, sambung
saya. Hal inj tentu berbeda dengan mazhab
Maliki yang wajib mengusap rambut secara keseluruhan. Untung ada seorang jama’ah
yang sedang berwudhu datang membela saya, dan menjelaskan sedikit tentang hal itu
kepada sang penjaga tadi “ooh, kalau begitu ya sudah tidak apa-apa” jawab sang penjaga.
Persoalan lainnya adalah anjing. Di Maroko, bukanlah
pemandangan aneh melihat anjing-anjing berkeliaran. Anjing keluar masuk rumah, dipelihara,
dan dibawa jalan-jalan. Hal ini bukan hal yang tabu bagi mereka. Karena memang di
dalam mazhab Maliki, najis yang melekat pada diri anjing itu hanya pada lidah atau
air liurnya, mazhab Maliki juga mengataan tidak ada dalil yang sharih (tegas) menyebutkan
kenajisan tubuh anjing, kecuali air liurnya saja. berbeda dengan kita, logika yang
dipakai mazhab Syafi’i sedikit berbeda. Air liur anjing yang bercampur dengan benda
lain membuat benda lain jadi najis. Karena air liur bersumber dari perut, benda
apapun yang berasal dari perut seharusnya najis. Kesimpulannya, seharusnya bukan
hanya air liurnya saja yang najis, tetapi juga tubuhnya termasuk daging, tulang
darah, kulit, bulu dan keringar yang semuanya tumbuh dari makanan perut.
Tentu masih
banyak lagi kasus dan cerita tentang bersyaf’i di negeri Maliki ini, yang tidak
cukup untuk diceritakan satu persatu dalam tulisan ini. Intinya, kita harus pandai bersikap sebagai seorang yang
sudah lama dididik dengan fiqih syafi’i tiba-tiba dihadapkan dengan fenomena perbedaan
mazhab yang cukup menonjol di negeri gerbang Andalusia ini, dengan tidak melupakan asas tasamuh dalam perbedaan mazhab,
yaitu toleransi terhadap mazhab mayoritas daerah yang sedang ditempati. Contoh
kecilnya, bagaimana seorang imam madzhab Syafi’i ketika beliau menjadi imam subuh
di daerah qubbah yang dekat dengan kuburan imam Abu Hanifah, beliau memilih
untuk tidak membaca qunut, karena memang di dalam mazhab Hanafi tidak disunnahkan
qunut setelah ruku’ di raka’at kedua sholat subuh.
Terlepas
dari perbedaan tafi, mempelajari fiqih mazhab
Maliki kepada para ulama Malikiyah di Maroko dan mendalaminya merupakan nilai plus
bagi mahasiswa Indonesia di Maroko tanpa menghilangkan kesyafi’annya yang sudah
melekat pada dirinya sejak kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar