Alasan saya memilih topik ini karena
nama saya (Mu’tamid), ketika awal berkenalan dengan teman-teman seperguruan
Ta’lim ‘Atiq di Tanger sering kali dimiripkan kepada salah satu penyair Andalus
masa itu, yaitu Al Mu’tamid bin Abbad, hingga saat ini. Usut punya usut
ternyata tokoh Al Mu’tamid sudah populer
dikalangan mereka sejak diperkenalkan oleh salah satu guru Ilmu ‘Arudlnya di
Madrasah. Apalagi dalam karangan Al Mu’tamid terdapat syi’ir yang berkaitan
tentang Maghrib seperti yang saya sebutkan nanti.
Bahkan dalam keadaan yang sama orang
Maroko sering menyebut kewarganegaraan
orang Indonesia dengan “Andanusia”–dengan dibaca fathah hamzahnya–bukan
“Indonesia”–dibaca kasroh hamzahnya. Pikir pendek saya, mungkin karena metode
Tashilul Nuthqi, maka dibaca fathah lebih mudah diucapkan dibanding dibaca
kasroh atau nama Andalusia yang sudah tidak asing di telinga mereka,
kemudian menyamakannya dengan nama
Indonesia dikarenakan banyak huruf yang sama, yaitu : ( أ/A), ( ن/ N), ( د/D), ( س/S) dan ( ي/Y)
.
Sehingga menarik bagi saya untuk
mengangkat topik tentang sesosok Al Mu’tamid bin Abbad ini yang selalu
menampilkan seni gubahannya. Tidak lain hanya sebagai bentuk tafaul dari saya
dan tasyabbuh dari sisi lain. Walaupun masih jauh dari kepantasan, akan tetapi
itu adalah suatu keberuntungan tersendiri bagi saya, seperti ucapan sya’ir :
“فَتَشَبَّهُوْا
إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ - إِنَّ التَّـشَبُّهَ بِالْكِرَامِ فَلاَحُ”
“Jika kamu tidak mampu
menjadi seperti mereka maka bertasyabbuhlah ( serupailah mereka ). Sesungguhnya
menyerupai orang – orang mulia itu suatu keberuntungan.”
Apalagi di akhir kisahnya, Al
Mu’tamid mengalami masa cobaan yang luar biasa sehingga ia diasingkan ke Maroko
dan dipenjarakan disana. Tidak luput dari kepopulerannya sebagai penyair,
kisahnya terekam sejarah karena syi’ir yang ia tulis di penjara. Inilah yang
membuat saya penasaran untuk mengetahui karyanya pada pada masa itu.
Disamping karena kesukaan saya
terhadap ilmu syi’ir semenjak belajar di pesantren, dimana bait-bait bahar
Rajaz menjadi metode paling banyak dalam mempelajari Ilmu Alat (Nahwu, Shorof,
Balaghoh dan sebagianya), bahkan menjadi studi khusus dalam menciptakan karya
sastra berbasis kitab kuning. Oleh karena itu, menurut saya eksistensi ilmu
syi’ir sangatlah berperan penting dalam perkembangan ilmu-ilmu lainnya dan itu
saya rasakan sendiri sampai sekarang, seperti contoh; ketika Imtihan mata
pelajaran qawaidul fiqhiyyah yang sudah diformat menjadi bait-bait nada rajaz
akan lebih mudah dihafal walaupun penjelasan qaidah dan contohnya sangat banyak dibanding dengan
materi yang berbertuk natsr walaupun penjelasannya sedikit.
Alangkah baiknya, terlebih dahulu
saya ulaskan tentang biografi Al Mu’tamid bin Abbad kemudian dilanjutkan dengan
beberapa syi’ir Al Mu’tamid ketika ia mulai mengadapi masa-masa ujian berat
sampai wafatnya di Maroko :
• Siapa
itu Al Mu’tamid?
Dia adalah seorang penguasa di
Negeri Andalusia, Abu Al Qasim Al Mu’tamid Alallah Muhammad bin Abbad dan
dijuluki sebagai Azh-Zhafir dan Al-Muayyad (431 H - 488 H / 140 M – 1095 H).
Putra dari Abi ‘Amr Al-Mu’tadhid –hakim di Sevilla. Dilahirkan di kota Bajah[1].
Asal keluarganya dari Negeri Syam tepatnya di wilayah Al ‘Arisy. Menjadi raja
ketiga sekaligus terakhir dalam kepemimpinan kerajaan Abbad di Andalus. Al
Mu’tamid saat itu menguasai dua kota yaitu Cordoba dan Sevilla.
Dalam kisahnya, seperti yang
dikatakan oleh Ibnu Khallikan bahwa ketika kekuasaan Raja Alfonso VI semakin
kuat maka raja-raja di Andalusia mengajak damai dengannya dan siap untuk
membayar pajak kepadanya. Dia telah menguasai Thulaithilah dari tangan Al Qadir
bin Dzu An-Nun pada tahun 478 Hijriyyah setelah pengepungan sengit. Peristiwa
itu adalah awal kelemahan pasukan muslim karena kedatangan pasukan Eropa.
Akhirnya Al Mu’tamid juga ikut membayar pajak. Namun ketika kedudukannya mulai
kuat, ia menolak untuk membayar pajak. Sehingga Alfonso VI menebar ancaman dan
memaksa Al Mu’tamid untuk menyerahkan beberapa benteng, Dia membunuh membunuh
utusan dan orang yang mengawalnya, dan bergerak untuk merencanakan penyerangan
besar-besaran. Sehingga para ‘ulama berkumpul, mereka membahas kemudian
menyepakati untuk memberikan mandat
kepada Amir Abu Ya’qub bin Tasyifin[2] penguasa Marakusy guna menolong mereka.
Akhirnya, Ibnu Tasyifin bersama bala
tentaranya melintas menuju Andalusia dan bergabung dengan Al Mu’tamid. Alfonso
VI bertolak bersama empat ribu pasukan berkuda dan menulis surat ancaman kepada
Ibnu Tasyifin yang bertuliskan “Kelak yang terjadi akan kau lihat.”. Kemudian
dua pasukan bertemu , saling menyerang di daerah Zallaqah. 11 pasukan musuh
berhasil ditaklukkan, kebanyakan luka-luka dan hanya sedikit yang selamat.
Perang itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun 479 H. Al Mu’tamid terluka di badan
dan wajahnya. Dia dikenal dengan sikap pantang mundur dan keberaniannya.
Pasukan muslim banyak mendapat harta rampasan dan Ibnu Tasyifin pun kembali ke
daerahnya.
Abdul Wahid bin Ali berkata, “Al
Mu’tamid menguasai Cordoba pada tahun 471 H dan berhasil mengusir Ibnu Ukasyah.
Ibnu Tasyifin keluar dari Andalusia dengan mengagungkan Al Mu’tamid dan
menyembunyikan beberapa hal seraya berkata, ”Kami adalah tamunya, kami
mengikuti perintahnya.”Ibnu Tasyifin mendukung orang-orang Murabithun yang
tinggal di Andalusia . Orang Andalusia menyayanginya dan mendoakan kebaikan
untuknya. Dia menjadikan mereka kerabatnya dan memetapkan beberapa keputusan.”
• Sebab
pengasingan Al Mu’tamid
Terjadi perbedaan versi diantara
para pakar sejarawan mengenai sebab kejadian ini, akan tetapi saya menukil dari salah satu versi, yaitu :
“Pada tahun 483 Hijriyyah terjadi
fitnah di Andalusia. Orang Murabithun mengepung benteng-benteng Al Mu’tamid dan
menguasai sebagiannya. Mereka membunuh putra Al Mu’tamid yang bernama Al Makmun
pada usia empat tahun. Waktu demi waktu fitnah itupun semakin memanas. Kemudian
mereka mengepung Sevilla. Tampak dari pihak Al Mu’tamid kegentingan yang belum
pernah ia saksikan sebelumnya. Pada bulan Rajab orang Murabithun menyerang
wilayah Al Mu’tamid dengan perang yang sangat sengit. Mereka mengusir penduduk
negeri itu dan menawan Al Mu’tamid.
Saat itu, orang-orang Barbar muncul
dari arah lembah. Mereka melempar api ke arah negeri. Aktifitas menjadi
terhenti, kebakaran meluas di mana-mana dengan datangnya keponakan Sultan.
Orang Barbar tidak meninggalkan apapun bagi penduduk negeri itu. Istana Al
Mu’tamid dijarah. Al Mu’tamid dipaksa untuk menulis kepada kedua putranya agar mereka
menyerahkan kedua benteng, jika tidak, dirinya akan dibunuh, “Darahku menjadi
jaminannya.” Kedua putra itu adalah Al Mu’tadd dan Ar- Radhi yang berada di
Rundah dan Martilah. Keduanya turun dengan selamat. Sayangnya, itu semua adalah
perjanjian palsu. Mereka membunuh Al Mu’tadd dan Ar- Radhi. Mereka membawa Al
Mu’tamid dan keluarganya ke Tanger serta membuatnya miskin.”
Tanger adalah fase pertama
perjalanan Al Mu’tamid sebelum menuju ke tempat pengasingannya di Aghmat[3] setelah cobaan yang ditimpanya yaitu gugurnya putra-putranya
dalam mempertahankan benteng kekuasaan. Disana Al Mu’tamid menetap selama
beberapa hari–tidak diketahui pastinya. Akan tetapi, hanya berapa hari yang
diperbolehkan baginya untuk bertemu dengan penyair-penyair Tanger yang berkumpul
kepadanya seperti halnya mereka lakukan di Sevilla dahulu. Tidak diketahui
secara pasti siapa saja mereka kecuali hanya Abu al Hasan bin Abd al Ghani al
Fihri yang terkenal dengan sebutan al Hushri al Dlarir, ia adalah seorang
penyair sejak kecilnya, yang hijrah dari negerinya–Al Qairawan–menuju Andalus
kemudian menjalin komunikasi dengan raja-raja kecil disana dan mendapatkan izin
untuk tinggal. Kemudian ia bergabung dengan al Mu’tamid setelah kepergian
ayahnya-al Mu’tadhidh.
Dalam pertemuannya dengan al
Mu’tamid, para penyair Tanger dan Maghrib bermaksud untuk menagih
pemberiannya/gajinya, kemudian al Mu’tamid berkata dalam syi’irnya [bahar al
Kamil] :
شعراء
طنجة كلهم والمغــرب # ذهبوا من الأغراب أبعد مذهـــب
سألوا
العسير من الأسير، وإنـه # بسؤالهم لأحق منهم فاعجــب
“Para penyair Thanjah dan
Maghrib semua pergi dari barat jauh dari madzhabnya Mereka meminta kesulitan
dari orang yang tertawan, dan sesungguhnya ia lebih berhak daripadanya.”
Al Mu’tamid dipenjara di Aghmat
selama lebih dari dari dua tahun[4] dalam
keadaan sengsara dan hina. Sebuah pendapat mengatakan bahwa putri-putri Al
Mu’tamid mendatanginya pada hari ‘Id. Mereka menjahit dalam kegelapan untuk
mendapatkan upah, pakaiannya compang-camping. Perasaan mereka sangat sedih
sekali. Ditulis dalam syiir yang berbunyi [bahar al Basith] :
فيما
مضى كنت بالأعياد مسرورا# وكان عيدك باللذات
معمورا
“Di zaman dahulu engkau
di hari hari ied keadaanmu riang
Hari iedmu pun dipenuhi kenikmatan yang tersedia
وكنت
تحسب أن العيد مسعدةٌ # فساءك العيد في أغمات مأسورا
Engkau senantiasa mengira bahwa ied itu senantiasa penuh bahagia
Maka Ied pun telah buruk untukmu di kota Agmat dalam kondisi
tertawan
ترى
بناتك في الأطمار جائعةً # في لبسهنّ رأيت الفقر مسطورا
Engkau pandang putri putrimu dalam berpakaian (keadaannya) lapar
Pada pakaian mereka engkau lihat kefakiran bertulis pena
معاشهنّ
بعد العزّ ممتهنٌ # يغزلن للناس لا يملكن قطميرا
Kehidupan mereka setelah kemegahan kini ditimpa kemalangan
Mereka menggugah penuh belas kasih kepada manusia sementara tiada
mereka memiliki secuil kurma
برزن
نحوك للتسليم خاشعةً # عيونهنّ فعاد القلب موتورا
Mereka muncul kepadamu penuh penerimaan dalam keadaan mata tunduk
Hatipun menjadi tegang merintih
قد
أُغمضت بعد أن كانت مفتّرةً # أبصارهنّ حسيراتٍ مكاسيرا
Mata telah terpejam setelah mata mereka pupus melemah
Penuh keibaan serta penuh hal disayangkan yang hancur berkeping
keping
يطأن
في الطين والأقدام حافيةً # تشكو فراق حذاءٍ كان موفورا
Mereka berjalan diatas tanah liat sedang kaki merka tanpa sandal
Mereka mengeluh ditinggal sepatu yang dulu tersedia.”
Akhirnya, dalam usia 55 tahun Al
Mu’tamid wafat dan dimakamkan di Aghmat pada tahun 488 H.
Begitulah kisah tentang kehidupan
penyair sekaligus raja di Sevilla yang terekam jejaknya menjadi tokoh
legendaris di Andalus. Semua itu, karena salah satu pengaruh dari
tulisan-tulisan indahnya yang ia kemas menggunakan metode syi’ir semenjak
menjadi raja di Andalus sampai masa kelamnya di Maghrib.
Al Hasil, dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa dalam keadaan
sesengit apapun orang ‘alim itu, bukanlah menjadi hambatan untuk tidak
mengamalkan ilmunya, seperti apa yang dicontohkan oleh Al Mu’tamid ketika ia
diasingkan dan dipenjara. Buktinya, ia tetap mengabadikan kisah singkatnya
dengan menulis syi’ir sesuai tatanan kedah. Bahkan ia sempat berwasiat sebelum
meninggalnya agar beberapa bait syi’ir yang ia tulis bisa diabadikan di batu
nisan tempat disemayamkan.
Seperti pepatah mengatakan
“Selamanya perjalanan hidup seorang hanya menjadi masa lalu dan tidak terbaca
kembali oleh sejarah manakala ia tidak menyimpannya melalui sebuah karya”.
Terakhir, sebagai kalimat penutup dari saya [Bahar
Rajaz] :
ولو يكون وافق الحقيقة # فأيقنوا ذالك من عند الله
ولو يكون وافق الشذيذة # فعوده إليّ ذي الخطيئة
"jika ada ~ kebenaran ~ yang hakiki # semuanya ~ hanya dari ~ Sang
Ilahi
jika ada ~ kesesatan ~ yang terjadi # itulah {da ~ riku} {kesa ~
lahan} murni."
________________________________________
[4] Versi lain mengatakan empat tahun
~ O ~
_________________________________________________________________________________
Referensi :
Azam RA.2010.Biografi Islam Al Mu’tamid
bin Abbad. (Online)
(cara-global.blogspot.com/2010/12/al-mutamid-bin-abbad.html)
مجلة شهرية تعنى
بالدراسات الإسلامية و بشؤون الثقافة والفكر . .دعوة الحق (Online)
(www.habous.gov.ma/daouat-alhaq/item/1383)
إضاءات .محنة
المعتمد: أروع المآسي الملوكية في التاريخ (Online)
(www.ida2at.com/the-plight-of-almoatamed-best-tragedies-in-history)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar