Oleh
Qosim Nur Seha
Mahasiswa
S1 Dirosat Islamiyah Madrasah Imam Nafie, Tangier.
Madrasah
Ta’lim ‘Atiq merupakan lembaga pendidikan Islam yang ada di Maroko. Bernaung di
bawah Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman, eksistensinya selalu menjadi
kebanggaan tersendiri bagi pemerintahanKerajaan Maroko. Bukan tanpa alasan,
Ta’lim ‘Atiq diyakini sebagai lembaga terbaik dalam mempersiapkan dan mencetak
generasi cendekiawan muslim kelas dunia sebagai pemegang tongkat estafet
perjuangan ulama yang terlebih dahulu populer di bidang keilmuan dan peradaban
Islam.
Ta’lim
‘Atiq terkenal dengan sistem pendidikannya yang tegas. Selain mengharuskan
penguasaan materi, siswa juga diharuskan menghafal berbagai macam disiplin ilmu
penunjang seperti matan Hadits, bait-bait ilmu nahwu, fiqih, balaghoh, manthiq,
dan sebagainya. Bagi orang Maroko sendiri, mustahil mereka bisa menyenyam
pendidikan di sini tanpa bekal hafalan al Quran lengkap 30 juz, karena hafalan
telah menjadi syarat mutlak untuk daftar di Ta’lim ‘Atiq sedari jenjang SMP.
Namun pelajar asing mendapatkan dispensasi untuk tidak memenuhi syarat ini.
Seperti
halnya lembaga lain, Ta’lim ‘Atiq juga mempunyai jenjang pendidikan
lengkap, mul zai dari Kuttab (pesantren khusus menghafal al Quran),Madrasah
Awwaliyah (setingkat TK), Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD),
Madrasah I’dadiyah (setingkat SMP), Madrasah Tsanawiyah (setingkat
SMA) serta Nihaiyah (setingkat pendidikan sarjana). Pada umunya,
madrasah-madrasah ini berada di bawah naungan sebuah yayasan yang kemudian
menyediakan beberapa atau bahkan seluruh jenjang.
Madrasah
Imam Nafie
Madrasah
Imam Nafie merupakan salah satu Madrasah Ta’lim ‘Atiq yang terdapat di Kota
Tangier, salah satu kota besar yang terletak di ujung utara Maroko, berbatasan
laut dengan Spanyol.Madrasah Imam Nafis merupakan Ta’lim ‘Atiq pertama yang
ditempati pelajar Indonesia, tepatnya saat PBNU (Pengurus Besar Nahdhatul
Ulama) berhasil mengadakan MoU bidang pendidikan bersama Kerajaan Maroko pada
tahun 2010. Pelajar Indonesia sekaligus satu-satunya pelajar Asia yang belajar
di Ta’lim ‘Atiq.
Madrasah
ini mempunyai jenjang pendidikan lengkap mulai dari Kuttabhingga Nihai.
Saat ini cabangnya pun mencapai 14 madrasah yang tersebar di regional Kota
Tangier, termasuk madrasah khusus putri. Untuk Madrasah Imam Nafie pusat
sendiri hanya fokus pada pengelolaan jenjang I’dadiyah hingga Nihaiyah.
Reputasi
yang diperoleh Madrasah Imam Nafie ini cukup istimewa. Siswa siswinya sering
kali mengukir prestasi bergengsi tingkat nasional dan internasional, baik dalam
bidang akademik maupun non akademik. Pada Imtihan Wathony (Ujian
Nasional yang diikuti seluruh siswa kelas akhir, termasuk mahasiswa jenjang Nihai),
setiap tahun pelajar Imam Nafie di semua jenjang begitu dominan mengisi daftar
peraih nilai tertinggi nasional. Sebagaimana laporan hasil Imtihan Wathony
jenjang Nihai tahun 2018, peringkat 1 dan 2 nasional, kemudian peringkat
4 hingga 7 semuanya diisi oleh para mahasiswa Imam Nafie. Meskipun prestasi
tersebut hanya anak Maroko asli yang berhasil raih, bukan pelajar asing.
Lantas,
apa rahasia di balik kegemilangan ini? Adakah sistem pembelajaran khusus yang
diterapkan untuk mencetak generasi-generasi emas ini?
Kegiatan
Harian Pelajar Imam Nafie
Sekilas
tak ada yang berbeda antara sistem pembelajaran di Imam Nafie dan madrasah
lain. Kegiatan belajar mengajar aktif mulai pukul 8 pagi hingga 6 petang. Hanya
saja, pelajar Imam Nafie dituntut untuk menjalani ritinitas hariannya dengan
cara yang berbeda, mulai bangun tidur hingga kembali ke kasur. Dalam rutinitas
inilah akar kedisiplinan ditanamkan dalam pribadi masing-masing siswa.
Seluruh
siswa Idady dan Tsanawi diharuskan tinggal di asrama. Subuh,
mereka dibangunkan untuk kemudian menjalani sholat berjamaah, dilanjutkan
dengan sarapan pagi di math’am madrasah. Memasuki pukul 7 pagi, mereka
diwajibkan mengikuti pelajaran ekstra yang diperuntunkaan untuk seluruh siswa
jenjang I’dady dan Tsanawy. Materi pelajaran ekstra terjadwal selalu berbeda setiap harinya,
seperti bidang ilmu nahwu, fiqh, balaghoh, dan lain-lain. Pukul 8 pagi hingga 6
sore, mereka menjalani jam belajar formal seperti biasanya. Jeda istirahat
hanya pukul 12 sampai pukul 2 siang untuk sholat, makan, qoilulah, atau
untuk mengerjakan tugas.
Selepas
itu, mereka tidak diperkenankan untuk kembali ke asramaatau bahkan keluar gerbang
madrasah hingga pukul 10 malam. Waktu antara Magrib dan Isya mereka isi dengan murojaah
al Quran secara berjamaah. Mereka juga diwajibkan mengikuti Kursi Ilmiah
yang diampu oleh ulama kenamaan Maroko seperti Syeikh Mohammad Roughi, Syeikh
Muhammad Said Lkamali dan Syeikh Alhaskori. Kursi Ilmiah ini
diperuntunkan untuk mayarakat luas, diadakan di masjid yang masih terintegrasi
dengan madrasah. Bahkan Kursi Ilmiah ini masih berlangsung saat
hari-hari ujian.
Kursi
Ilmiah yang diikuti oleh pelajar Imam Nafie di
sela-sela ujian kenaikan kelas, 19 Ramadhan 1439H.
Sebelum
pukul 10 malam, mereka masih harus menetap di madrasah. Seakan tiada lelah,
biasanya mereka gunakan waktu tersebut untuk belajar materi pelajaran, membaca
buku di perpustakaan, menghafal bait-bait matan, atau berdiskusi ringan
dengan teman. Serat jenuh sudah pasti
tergurat di setiap wajah mereka. Berada di dalam gedung madrasah tertutup mulai
fajar hingga menjelang tengah malam yang hanya bisa memandang cahaya matahari
dari kejauhan melalui jendela berjeruji di setiap ruangan. Namun semangat
mereka seakan tampak lebih menggelora dibanding kegundahan yang melanda jiwa.
Barangkali
semangat ini begitu awet karena hanya inilah satu-satunya kegiatan yang bisa
mereka lakukan. Tak seperti remaja lain sebaya, mereka dilarang membawa dan
menggunakan alat elektronik laiknya smartphone agar fokus mereka tetap
satu, belajar. Di sela-sela waktu tersebut, tak ada aktifitas chatting diantara
mereka, begitupun update status facebook atau saling komentar di kiriman
masing-masing.
Satu
hal paling menarik yang patut disoroti ialah, keharusan bagi mereka untuk hanya
mengkonsumsi makanan dari apa yang disediakan oleh madrasah. Mereka benar-benar
dilarang untuk membeli makanan ringan atau camilan dari luar, bahkan saat
mereka pulang menuju asrama. Peraturan ini bertujuan untuk menghindari
kesenjangan sosial antara siswa mampu dan tidak mampu agar mereka sama-sama
merasakan riyadhoh dan hidup prihatin dalam kesederhanaan.Namun semua
peraturan ini lunak bagi mahasiswa Nihai.
Begitulah
rutinitas harian pelajar Ta’lim ‘Atiq. Mereka diberikan waktu reparasi diri
pada Rabu sore hingga Jumat sore.Waktu ini mereka pergunakan untuk menikmati
suasana bersama keluarga, membantu berjualan, berkumpul dengan kawan, atau
berolahraga.
Robot
Nathiq
Melihat
bagaimana proses yang mereka jalani, pantas kiranya jika mereka disebut sebagai
perwujudan nyata dari robot nathiq. Raga yang tak pernah lelah serta
jiwa yang tak pernah kering dari semangat belajar sudah menjadi kesatuan yang
padu dalam diri mereka. Banyak kemudian jebolan Ta’lim ‘Atiq yang berkiprah di
lembaga-lembaga pendidikan dan keilmuan. Tak sedikit pula di antara mereka yang
berdakwah menjadi dai di benua Eropa seperti Spanyol, Prancis, Belanda, Jerman
dan Britania.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar