oleh : Izzul Millah
Kakakku
Matahari sudah lelah, menghilang di ufuk sana.
Lampu-lampu mulai dinyalakan. Ada neon, lampu putih, dan ada juga yang masih
memakai teplok. Beberapa warga yang bersiap untuk ronda malam. Para jangkrik
mulai keluar dari peraduannya, anak-anak kecil yang bermain, disuruh pulang
oleh ibunya. Waktunya berkumpul bersama keluarga, menceritakan apa yang telah tiap-tiap
anggota keluarga lakukan pada hari itu. Kecuali keluargaku. Ah, mungkin aku terlalu
mengambing hitamkan keluarga, okelah aku bilang, Kakak perempuanku.
Aku baru saja menyalakan lampu, mematikan keran air, dan
menyapu. Tiba-tiba kakakku marah-marah mengatakan bahwa hari ini adalah tugasku
untuk membersihkan kamar mandi. Hei! Kau kira kerjaan yang aku sebutkan tadi
tidak berat bagiku! Dia marah-marah sampai mengancam akan bilang Ibu. Ibuku
orang yang tegas kepada anak-anak perempuannya. Mungkin berbagi tugas dengan
Ayahku yang keras dengan adik laki-lakiku satu-satunya. Tapi mau berdalih
apapun, Kakakku selalu menang. Ia mempunyai watak seorang Ibu dan otak seorang Ayah.
Ayahku seorang guru di SMA Negeri di Pemalang. Ia bisa mengajar apa saja. Dan
ayahku seorang motivator ulung. Hanya itu yang aku miliki dari seorang Ayah.
Menjadi motivator untuk diriku sendiri. Karena aku tidak cerdas seperti
kakakku. Ia selalu juara satu di kelas dulu. Sekarang ia menjadi ketua BEM di
kampusnya. Aktivis kalau kalian mau menyebutnya. Ia juga suka menulis dan
tulisannya selalu di muat di majalah kampus. Aku pernah sesekali membacanya dan
muntah. Bukan menjadi konsumsi orang yang tidak cerdas untuk membaca artikel
tentang ekonomi dunia, tentang saham, dan segala hal yang berhubungan dengan
uang. Kakakku orang yang teliti dengan harta benda. Rapi sekali. Di kamarnya
selalu ada kertas dan rokok ditemani kopi. Meskipun dia perempuan, ia merokok.
Aku tidak tahu kapan ia mulai merokok dan mengapa. Mungkin karena beban pikiran
memikirkan kuliah ekonomi yang ruwetnya bukan main, pikirku. Dan anehnya, orang
tuaku tidak pernah tahu akan hal itu. Hanya aku, adik perempuannya seorang. Dia
sering menyuruhku untuk membantu menghitung uang-uangnya. Karena aku di kampus
memang tidak ada kerjaan lain selain kuliah. Aku tidak mengikuti satu pun
organisasi. Pertama melakukannya, aku senang. Akhirnya aku yang bodoh ini bisa
membantu kakakku yang cerdas. Menggembirakan bukan? Orang bodoh membantu orang
pintar. Sudah terlalu banyak orang pintar yang membantu orang bodoh. Tapi lama
kelamaan karena aku keasyikan dengan hal-hal seperti itu. Ia menyuruhku untuk
mengetik proposal, surat, dan segala hal yang berhubungan dengan kertas A4.
Sepusing-pusingnya aku, dia terus saja memaksaku. Pernah suatu waktu aku pusing
sekali, dalam arti sebenarnya. Lalu menutup laptop dengan paksa. Kakakku
langsung marah seketika.
“Apa
yang kau lakukan?! Nanti kalau rusak bagaimana? Nanti kalau file-file-ku
hilang bagaimana? Kau mau menggantinya semua?! Hah!??” sambil memelototiku.
Heh, memangnya aku ini anak yang baru lahir kemarin sore?
Hal-hal seperti menutup layar laptop Cuma akan membuatnya dalam keadaan sleep,
aku hanya bisa membatin. Aku tahu, menghadapi kakakku yang sedang marah seperti
itu hanya membuang-buang waktu. Bagaimanapun kau membantahnya, ia akan selalu
mencari cara agar menang dalam debat kusir ini.
“Iya
kak, aku minta maaf” aku hanya menunduk agar ia tidak melihat wajah cemberutku.
Bisa panjang jika ia tahu.
“Yasudah
sana, pergi mandi” aku keluar dari kamar
kakakku.
Satu tahun kuliah dengan melaju, aku dan kakakku akhirnya
memutuskan untuk menyewa kos-kosan dekat kampus. Aku kuliah di tempat yang sama
dengan kakakku. Ya kau tahu, dia memenangkan musyawarah keluarga dengan
argumennya. Biar gampang ngurusnya lah, biar dekat denganku lah, biar bisa terus
mengawasiku lah, dan argumen-argumen lain. Akhirnya aku menurut saja. Toh, aku
mengambil jurusan yang sama sekali berbeda dengan apa yang kakakku pilih.
Sastra. Aku suka sastra sejak kelas 1 SMA. Menurutku ia bebas. Tidak melulu
teoritis. Dan aku suka melakukannya. Menulis puisi misalnya. Teman-temanku
tidak tahu kalau aku pintar menulis puisi. Walaupun jurusanku sastra. Mereka
kira, aku masuk jurusan sastra hanya pelarian karena aku tidak pintar dalam hal
hitung-menghitung. Ya walaupun itu ada benarnya juga. Kakakku terkenal di
Kampus. Sampai teman satu jurusanku kenal semua. Aku pun mulai dikenal diantara
para mahasiswa. Banyak yang mengirimi aku puisi. Apalagi puisi jiplakan penulis
ternama. Seperti puisinya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hawa Dingin
Dingin malam memang tak pernah mau
Menegurmu, dan membiarkanmu telanjang
Berdiri saja ia di sudut itu
Dan membentakku, ”Ia hanya bayang-bayang”
“Bukan, ia tulang rusukku” sahutku
Sambil menyaksikannya mendadak menyebar
Ke seluruh kamar-yag tersisa abu
Sesudah kita berdua habis terbakar
Maukah kau jadi abu tulang rusukku?
Memangnya dia kira aku tidak tahu kalau itu puisinya
Eyang Sapardi. Aku punya bukunya di rumah. Melipat Jarak. Dan sudah
kubaca berkali-kali sampai hafal. Bodohnya dia menjiplak ayat-ayat Eyang Sapardi
secara penuh. Tidak membuat yang seperti itu dengan bahasa lain atau setidaknya
mengubah satu dua kata. Ya langsung saja kutolak dengan puisi asli buatanku
yang kutaruh di tasnya. Aku taruh puisi itu di dalam amplop merah jambu dan
kutorehkan namaku di depannya. Sarah Zakiyah. Sang Pejalan Suci.
Dingin malam memang selalu begitu
Membiarkanku telanjang dan dijamah oleh
Tangan-tangan kotor penuh lumpur
Lalu ada seorang berkata “Ia hanyalah bayangan”
Tangan-tangan kotor itu pun menghilang
Menjadi tangan yang membelai
“Tangan-tangan kotor dibalik tangan suci” panaku
Lalu tangan suci itu meremukku
Lalu membuatnya jadi kelabu
Lalu membuangnya di laut biru
Heh, kalau dia tidak kembali, berarti ia paham bagaimana
perwujudan tangan kotor yang hanya mengikut tangan suci, ia akan hancur lebur.
Dan aku lebih memilih hancur daripada jadi abumu. Huh.
Semuanya yang ada di kampus adalah nama kakakku. Tidak
ada namaku.
Malam hari yang gelap, entah ada bintang kejora atau ada
meteor jatuh, aku membentak kakakku di kos-kosannya. Karena ia menyuruhku untuk
mengerjakan sebagian tugasnya sedangkan aku juga punya tugas makalah yang harus
dikumpulkan besok. Ia berkata bahwa tugasku ini sangat mudah dan ia akan
membantuku untuk mengerjakannya jika kerjaannya sudah selesai. Huh,
membantu? Kukira kata “membantu” sudah tidak berlaku lagi dalam KBBI versi
kakakku. Aku muntab.
“SUDAH,
AKU SUDAH MUAK!!?? JANGAN PERNAH SURUH-SURUH AKU LAGI WANITA BAJINGAN!!” aku
pergi.
Entah bagaimana perasaannya, aku tak peduli. Aku pergi.
Entah kemana aku pergi, yang penting aku pergi. Pergi jauh di mana tidak ada
manusia bernama Lulu Zahra lagi. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah temanku,
Nadia. Tanpa memberi tahu Nadia kalau aku akan ke rumahnya, ia kaget bukan main
saat aku sudah berada didepan pintu masuk. Wajahnya mengguratkan kecemasan. Ia
bertanya banyak sekali, tapi tidak aku jawab.
“Nanti
aja ceritanya ya Nad, aku pusing” dan benar, aku pusing lahir batin.
Aku menginap di rumah Nadia lama sekali. Ia kawan
pertamaku di Kampus. Orangnya baik, pengertian, dan yang terpenting, ia tidak
pernah membicarakan Kakakku didepanku. Aku senang, punya teman seperti dia.
Tapi aku hanya tidak enak hati merepotkannya. Akhirnya aku pun membantunya
mengerjakan pekerjaan rumahnya. Rumahnya agak sedikit lebih besar daripada
rumahku, tapi karena sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini aku tidak
merasa terbebankan dengan pekerjaan itu. Karena aku tidak kuliah, maka sebagai
gantinya aku membantu Nadia membuat tugas. Tak terasa, aku seperti guru bagi
Nadia, ia juga tidak merasa digurui olehku. Aku bersyukur, bisa membantunya.
Sudah satu bulan lebih aku tidak keluar, masa bodoh
dengan mereka yang mencariku, apalagi Kakakku. Mungkin dia sudah menyewa
temannya untuk mengerjakan pekerjaannya. Malam hari, Nadia mengajakku ke atap
rumahnya. Ada pintu kecil untuk kesana. Aku ikut. Entah apa yang ingin ia
tunjukkan padaku, aku menjadi diriku yang dulu, Manusia Penurut.
“Rah,
kamu yakin nggak mau pulang? Nggak kangen sama keluargamu?” ia membuka
percakapan. Pertanyaan yang kutunggu-tunggu. Sudah lama ia memendamnya,
mungkin.
“Ya
kangen Nad, tapi nanti aku ketemu lagi sama Kak Lulu. Disuruh itu, disuruh ini.
Bosan aku Nad!” aku meletakkan daguku di lututku.
“Hehe....enak
ya kamu Rah, punya Kakak, hidupmu berwarna” aku tidak menyangka ia akan berkata
seperti itu.
“Enak
darimananya, dia itu selalu memperalat aku Nad!” aku mulai jengkel dengan
percakapan ini.
“Ya...untuk
aku sebagai anak angkat, itu sebuah anugerah”
“Jadi
kamu anak angkat Nad?” setengah kaget aku bertanya. Ia menjawab dengan
anggukan.
“Iya,
aku diambil sama orang tuaku ini dari panti asuhan. Aku nggak tahu siapa Ibuku,
siapa Bapakku. Dan pada hari itu, orang tua angkatku ini, Papa dan Mamaku
mengadopsiku. Mereka sudah tidak bisa punya anak lagi. Rahim mama sudah
diangkat sejak kehamilannya yang pertama karena memang tubuhnya sudah tidak
kuat. Aku tidak pernah meminta untuk mengadopsi satu anak lagi untuk aku
jadikan kakak atau adik. Aku sudah dianggap sebagai anak pun aku sudah sangat
bersyukur sekali” ia bercerita sambil tersenyum. Itu senyum kebahagiaan.
Nadia bercerita lagi tentang bagaimana hidupnya waktu
kecil dianggap anak angkat. Ditakut-takuti nantinya akan diperbudak oleh
orangtuanya sendiri. Menangis berkali-kali. Hingga sampai saat ini, ia menjadi
perempuan yang tegar. Selalu menghadapi dunia dengan senyuman. Aku bersyukur
masih punya orang tua kandung. Tapi aku masih belum menerima kelakuan kakakku
padaku.
“Sarah,
coba ingat apa yang kamu lakuin saat kamu disini?” ia tiba-tiba bertanya.
“Membantumu
mengerjakan seluruh pekerjaanmu?” aku mencoba menjawab.
“Lalu
siapa yang mengajarimu hingga kau bisa kuat seperti itu?” ia bertanya lagi.
“Aku
mengerjakannya sendiri”
“Tidak
Sarah, kamu melupakan hal yang paling penting. Bahwa kamu sudah terdidik dengan
baik untuk menghadapi kerasnya hidup”
“Kakakku
yang selalu menyuruhku hingga aku terbiasa?” hatiku mulai sakit.
“Benar
Sarah. Kakakku itu, Kak Lulu. Ia mengajarkanmu dengan sepenuh hati. Dan
begitulah cara dia mendidik. Manusia ada yang terdidik oleh alam seperti aku,
ada yang terdidik oleh manusia yang lain seperti kamu. Apakah kakakku pernah
menganggap dirimu bukan sebagai adik?” aku menggeleng “Tidak bukan?
Bersyukurlah kamu masih mempunyai saudara yang selalu melihatmu, selalu meminta
bantuanmu, selalu menganggapmu ada, dan selalu disampingmu” aku menangis, tak
bisa berkata-kata. Aku tersadar oleh kata-kata Nadia.
Lalu ada sebuah mobil berhenti di depan rumah Nadia. Dan
Kakakku keluar dari sana. Ia menyopir sendiri. Sejak kapan dia bisa menyopir? Lalu
aku turun dari atap dan menghampiri Kak Lulu.
“Ih,
Sarah! Kalau mau ke rumahnya Nadia itu bilang-bilang dong. Bilang kalau
kos-kosanmu kurang nyaman, bilang kalau kuliahmu itu membosankan, bilang sama
Kakak. Kamu itu punya mulut ya untuk berbicara, bukan Cuma diem terus” Kak
Lulu. Kakakku yang selalu berkata keras kepadaku sejatinya adalah wujud kasih
sayang. Kakakku satu-satunya. Aku memeluknya.
“Maafkan
Sarah, Kak. Sarah nggak pernah terus terang sama Kakak. Sarah nggak pernah bilang
apa-apa sama Kakak. Maafkan Sarah nggak pernah menganggap Kak Lulu sebagai
kakak” kakakku mengelus kepalaku. Baru kali ini aku merasakan kehangatan
seorang kakak. Baru kali ini aku mengaggap diriku ini sebagai seorang adik dari
Lulu Zahra.
“Maafkan
Sarah juga udah ngata-ngatain kakak ‘Wanita Bajinga’ ya, Kak”
“Heh,
memang begitulah seharusnya adik Kakak” aku bisa melihat senyumnya. Hangat.
Kakakku.
Ini cerita tentang aku dan kakak
perempuanku-kami selalu bertengkar-tentang apa saja-dia selalu saja menyuruhku
melakukan pekerjaan yang tak ada gunanya-aku marah padanya-aku pergi dari
kos-kosanku-kakakku mencariku-aku menginap di rumah temanku (nadia)-aku
sakit-sama orang tua angkat nadia aku dibawa ke rumah sakit-kakakku
menjengukku-dia meminta maaf-kami berjalan-jalan-aku pingsan-aku menulis cerita
ini-kalau tulisan ini tidak ada terusannya berarti aku sudah meninggalkan dunia
ini-(pandangan tokoh berpindah ke kakakku)-akhirnya aku tahu bagaimana
menyayangi seorang adik-selamat tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar