Panah Asmara
Oleh : Wardah Nabilah
Aku terpaku memandang air laut yang bergejolak. Anganku melayang pada
keluargaku di Pulau Sumatera. Rasa bersalah terus menyelimuti benakku. Namun
aku mencoba menghapus semua bayang-bayang itu.
"Ibu, Bapak, maafkan aku yang pergi meninggalkan kalian walaupun
kalian tidak memberi restu sepenuhnya kepadaku, tapi aku janji! Aku akan pulang
dengan membawa bendera kebanggaan untuk kalian. Aku tidak akan pulang dengan
tangan hampa, Ibu, Bapak doakan anakmu di sini," kata-kata itu terus
terucap dalam hatiku.
Dinginnya angin laut menusuk kulitku yang sedari tadi duduk sendirian di
atas kapal. Kryuuk! Perutku terdengar berbunyi, tapi aku mencoba menahannya. Aku
yakin masih bisa sedikit lagi menahan lapar. Terlebih uangku pas-pasan.
"Permisi mbak, boleh saya duduk di sini?" tanya seorang pemuda
yang tidak kukenal. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia membalas
senyumku, duduk di sampingku. Aku melihat dia memakan mi-instan dengan lahap. Aroma
yang keluar dari mangkuknya membuat perutku kembali berbunyi.
"Mbak, mau mi? Kebetulan saya membawa lebih," dia memberikan
semangkuk mi kepadaku. Aku tidak mau langsung menerima pemberian orang yang tidak
kukenal. Yah, walaupun bisa jadi lebih seperti paranoid atau prasangka buruk
terhadap orang lain.
"Ah terimakasih, tapi maaf aku sudah kenyang,"
Kryuuk! Baru saja aku selesai bicara, tiba-tiba perutku kembali
berbunyi, dan kali ini didengar olehnya. Wajahku langsung memerah, betapa
malunya. Dia tersenyum lalu kembali memberikan semangkuk mi itu.
"Sudah tidak apa-apa Mbak makan saja.. Saya ikhlas, saya tidak
berniat jahat kok ," dia mencoba meyakinkanku.
Aku tidak enak hati mendengar perkataannya. Seolah ia tahu kalau aku
sudah berpikiran yang tidak-tidak padanya. Aku mengambil mi itu lalu
mengucapkan terimakasih, ia juga memberiku sebotol air mineral.
"Mbak mau kemana?", ia kembali membuka pembicaraan.
"Ke Bogor," aku hanya menjawab dengan singkat karena sedang
menikmati mi-instan yang ia berikan tadi.
"Wah sama, saya juga mau ke Bogor.. ke Institut Pertanian
Bogor," ia menceritakan tujuannya walaupun aku tidak bertanya.
Aku sedikit terkejut mendengar perkataannya karena sebenarnya aku juga
akan pergi ke Institut Pertanian Bogor atau yang lebih dikenal dengan sebutan
IPB.
"Kamu mahasiswa di sana?", rasa penasaran pun akhirnya tumbuh
di dalam benakku.
"Iya, saya mahasiswa semester delapan di IPB," jawabnya dengan
tersenyum. Aku semakin terkejut ternyata dia kakak tingkatku.
"Mbak sendiri ke Bogor mau ke mana? Ke tempat keluarga atau hanya
jalan-jalan saja?" kali ini pertanyaannya tidak langsung aku jawab.
Jujur? Atau tidak? Pertanyaan itu menyelimuti benakku, apakah aku harus
jujur?
"Atau.. Mbak mahasiswi IPB ya?" pertanyaannya hampir membuatku
tersedak.
Apakah dia bisa membaca pikiran orang lain? Aku memandangnya dengan
tatapan aneh. Dia mengerutkan keningnya tanda tak mengerti dengan tatapanku.
"Mbak?" tanyanya sekali lagi membuatku tersadar dan langsung
mengalihkan pandangan.
"Emm, sebenarnya saya mau ke IPB juga, saya mahasiswi baru di
IPB," jawabku dengan malu.
Ya. Aku malu karena sudah merepotkan orang lain yang ternyata adalah
seniorku. Aku melihat raut wajahnya berubah ketika mendengar jawabanku. Ia
tampak seperti bertemu dengan keluarganya.
"Wah ternyata kamu mahasiswi IPB. Perkenalkan nama Saya Arya. Saya
dari Departemen Budidaya Pertanian," Kak Arya mengulurkan tangannya ke
arahku.
Aku menyambut tangannya, "Namaku Dewi dari departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perairan. Salam kenal Kak," aku tersenyum dan mencoba bersikap
ramah kepada Kak Arya.
Tanpa kami sadari ternyata kapal yang kami naiki telah sampai di
Pelabuhan Merak. Kami segera menuju bus, melanjutkan perjalanan melalui jalur
darat. Lima jam kemudian kami akhirnya sampai di IPB. Aku merasa sangat lega, akhirnya
aku bisa mengakhiri perjalananku yang sangat melelahkan.
Jam menunjukkan pukul 07.00 WIB, sementara aku melakukan wawancara pukul
09.00 WIB. Aku duduk di halte Fakultas Pertanian, masih bingung harus ke mana.
IPB masih terlihat sangat asing bagiku. Aku melihat ke sekelilingku. Di mana
Kak Arya?
Tiba-tiba saja Kak Arya menghilang tanpa pamit. Padahal aku berharap dia
menemaniku sampai aku selesai wawancara. Tapi itu tidak mungkin, dia punya
kesibukan lain. Aku? Aku hanya orang yang baru dikenalnya beberapa jam lalu.
Mana mungkin dia lebih mementingkan Aku.
"Dewi, nih Kakak belikan minum, kamu pasti haus kan?"
Aku langsung menoleh ke suara yang memanggilku. Kak Arya berdiri di
sampingku sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam sebotol minuman.
Huh, sudah berapa kali aku berburuk sangka kepada Kak Arya.
Aku mengambil minuman yang ia berikan, membuka minuman itu, dan langsung
meminumnya sampai habis.
"Huwaa, hahaha.. ternyata kamu sangat haus ya, Wi!" Kak Arya
tertawa. Lalu ia duduk di sampingku.
"Kamu mau menginap di mana?" Tanya Kak Arya kepadaku.
Aku hanya menggelengkan kepala. Aku tidak tahu harus tinggal di mana,
tujuanku dari awal hanya ke kampus IPB. Aku tidak memikirkan tempat tinggal.
Kupikir itu hal yang bisa dicari nanti.
Seandainya aku harus tinggal di masjid, aku akan tidur di masjid. Bukan
suatu masalah. Tekadku sudah bulat untuk menuntut ilmu di sini, aku tidak takut
dengan kemungkinan yang ada.
"Wi, jangan bilang kamu tinggal di masjid!"
"Hah!" aku langsung menoleh ke arah Kak Arya dengan tatapan
aneh.
Kakak satu ini benar-benar bisa baca pikiran orang lain.
"Kok tatapannya begitu sih? Jangan-jangan benar ya kamu mau tinggal
di masjid," kini Kak Arya balik menatapku dengan tatapan tajam.
Aku langsung memalingkan wajahku.
"Ya mau bagaimana lagi, aku tidak punya keluarga di sini, dan aku
tidak kenal kakak tingkat satupun," aku mencoba berkata jujur.
Aku memang anak yang pendiam di SMA dulu sampai kakak kelas pun tidak
ada yang kukenal.
"Kamu tinggal di teman Kakak saja dulu, Kakak sudah bilang ke dia kalau
ada adik-kakak yang ingin menginap di rumahnya. Dia sudah mengizinkan, jadi kamu
tidak perlu tidur di masjid," Kak Arya menjelaskan seolah tidak ada
maslaah sama sekali.
"Kok Kakak mengambil keputusan tanpa bicara dengan orang yang bersangkutan
dulu sih? Bagaimana kalau ia nanti keberatan atau tidak mau," aku sedikit
kesal juga dengan sikap Kak Arya yang seenaknya saja.
"Kamu marah? Maaf, Kakak tidak bermaksud lancang. Niat Kakak hanya
ingin membantu saja."
Aku menatap Kak Arya, matanya terlihat benar-benar tulus ingin membantu.
Kini aku yang semakin penasaran dengan Kak Arya.
"Kok Kakak tau sih kalau aku tidak punya tempat tinggal," aku
bertanya dengan penuh selidik.
"Hahaha, kamu itu mudah sekali ditebak Dewi! Di keningmu sudah ada
tulisan saya tidak punya tempat tinggal, hahaha," Kak Arya tertawa
terbahak-bahak seolah sedang menonton film komedi.
Aku yang ditertawakan hanya diam dan menatapnya dengan tatapan sinis,
tapi Kak Arya semakin tertawa melihat ekspresiku.
Setelah puas tertawa, Kak Arya mengantarku ke rumah temannya. Temannya
sangat baik, ia mau menampungku di sana. Memberikan aku makan dan tempat
istirahat. Tuhan memang sangat baik, Dia mempertemukan aku dengan orang-orang
yang berhati mulia.
Hari terus berganti. Tak terasa sudah hampir satu semester di IPB. Sekarang
aku sudah tinggal di asrama. Banyak hal yang aku lalui di sini. Kegagalan-kegagalan
yang terjadi berulang kali, misalnya saat mendaftar suatu organisasi.
Aku selalu gagal di sesi wawancara. Sifatku yang introvert menjadi
kendala utamaku di sini. Aku tidak ingin terus gagal. Aku akan berusaha menjadi
yang terbaik dan memberikan yang terbaik. Aku tidak akan menyerah hanya karena
suatu kegagalan. Gagal bukan berarti tidak mampu, tapi kegagalan memberikan kita
pelajaran melalui pengalaman. Dengan kegagalan kita tahu kesalahan kita
sehingga kita bisa memperbaikinya di kemudian hari.
Salah satu keinginan yang ingin kuraih adalah menjadi atlet panahan. Aku
merasa cocok dengan olahraga satu ini. Panahan adalah olahraga yang membutuhkan
ketenangan dan kekuatan. Setiap hari Selasa dan Sabtu aku berlatih panahan, mulai
dari latihan fisik hingga teknik memanah. Semua memang butuh proses dan
perjuangan yang seringkali tidak sesederhana dalam angan-angan.
Esok Januari akan ada pertandingan panahan antar-provinsi. Aku mencoba
memulai pengalamanku dengan mengikuti pertandingan ini. Peserta yang mengikuti
seleksi pertandingan tidaklah sedikit, jadi aku harus berjuang keras agar bisa
menjadi salah satu peserta yang ikut bertanding.
Satu bulan sebelum bertanding kami sudah mulai berlatih rutin setiap
hari. Kami latihan mulai dari pukul 16.00 sampai 20.30 malam. Seminggu pertama latihan
aku kelelahan hingga harus bolos.
"Dewi, kamu yakin masih ingin mengikuti seleksi ini?" tanya
Kak Fajar selaku Ketua Panahan di IPB. Kak Fajar tidak ingin ada anggota
panahan yang sampai masuk rumah sakit gara-gara memaksakan diri mengikuti seleksi.
Tapi sudah sejauh ini aku melangkah. Aku tidak ingin menyerah begitu saja.
"Besok aku pasti sudah baikan, Kak. Hanya sedikit lelah saja, aku
tidak mau menyerah di tengah jalan." Kak Fajar tersenyum mendengar
ucapanku, dia tahu bagaimana besarnya keinginanku untuk menjadi atlet panahan.
Aku tidak ingin gagal untuk kesekian kalinya, harus bisa mengubah diriku
menjadi lebih baik.
Kak Arya juga selalu mendukungku meski tidak selalu di sampingku. Ia
terus mengawasiku dari jauh. Dia sudah seperti kakakku sendiri, selalu
menasehatiku agar tidak lupa memberi kabar kepada orangtuaku.
Aku juga mempunyai teman yang selalu mendukungku, yang selalu ada dalam
keadaan susah maupun senang. Mereka adalah Wanda dan Kiky, teman satu kamar di
asrama.
Setelah cukup istirahat akhirnya aku bisa kembali mengikuti panahan. Beberapa
seleksi terlewati. Aku terpilih menjadi salah satu atlet yang akan bertanding
nanti. Aku sempat ragu untuk mengikuti pertandingan ini karena hari
pertandingan bersamaan dengan hari wisuda Kak Arya. Aku ingin hadir di acara
wisuda Kak Arya, namun sekali lagi hatiku menegaskan aku tidak akan berhenti di
tengah jalan dalam menggapai apa yang kuinginkan.
"Wi, kamu serius tidak mau datang ke wisuda Kak Arya? Dia sudah seperti
kakakmu sendiri loh! Rasanya terlalu jahat kalau kamu tidak hadir di
wisudanya," Wanda merasa tidak setuju dengan keputusanku.
"Tapi Wan, Dewi sudah lama berjuang untuk menggapai mimpinya ini. Tidak
mungkin dia mundur ketika selangkah lagi dia bisa menggapainya," Kiky
mencoba membelaku.
"Ki, acara wisuda ini sangat berharga bagi Kak Arya,"
"Wanda, Kiky, sudah jangan berdebat. Oke nanti aku akan pikirkan
lagi," aku tidak ingin salah mengambil keputusan karena keduanya sangat
penting bagiku.
Setelah berhari-hari, Aku semakin
yakin dengan keputusanku untuk mengikuti pertandingan. Akhirnya aku memutuskan
untuk tetap pada pilihan pertamaku.
"Kak Arya, aku minta maaf karena tidak bisa hadir di acara wisuda
Kakak. Bukannya aku menganggap Kakak tidak penting, tapi aku ingin mewujudkan
mimpiku kali ini. Aku tidak ingin gagal untuk kesekian kalinya," aku
mecoba menjelaskan kepada Kak Arya.
Kak Arya tersenyum lalu menatap ke arahku.
"Dewi, kejar mimpimu itu jika kamu memang yakin," jawaban Kak
Arya seolah memberi semangat kepadaku.
"Terimakasih, Kak. Dewi akan berusaha sebaik mungkin," aku
semakin yakin untuk melangkah ke depan.
Izin dari Kak Arya sudah cukup menghilangkan rasa raguku. Selain
dukungan dari orang-orang terdekatku di sini, aku juga meminta restu kepada
orangtuaku. Tanpa restu dari mereka aku merasa apa yang kulakukan tidak
sempurna.
Hari terus berganti, hari pertandingan pun telah tiba. Perasaan senang
bercampur cemas menjadi satu dalam benakku. Saat menatap arena lomba ada rasa
bangga tersendiri dalam hatiku. Di kejauhan kulihat Kiky dan Wanda melambaikan
tangan berteriak memanggil namaku.
"Dewiii! Ganbatte!!"
Aku berdiri di samping Kak Fajar yang menjadi penanggung jawab tim. Aku
menerawang ke depan, membayangkan wajah mereka, wajah orang-orang yang aku
sayangi. Tuhan bantu aku mewujudkan mimpiku. Aku tidak ingin mengecewakan
mereka. Aku ingin membuat mereka bangga.. Bismillahirrohmanirrohiim segala
usaha kucurahkan dan segala hasil ialah dari padaMu, aku berserah, Yaa Allah.
Pertandingan dimulai. Skor yang didapat peserta lain sangat bagus,
sementara aku dua kali memanah berada di skor 8. Aku mulai cemas, kesempatan
tersisa satu kali lagi untuk nilai yang menentukan.
"Dewii, ayo berjuang! Kamu pasti bisa, kami
mendukungmu!" suara seseorang yang tidak asing terdengar meneriakkan
semangat untukku. Aku melihat di sana berdiri orang-orang yang tak mungkin
kulupakan. Ibu, Bapak, Kak Arya, Wanda, dan Kiky.
Jantungku berdetak melihat mereka, rasanya aku ingin
menangis. Aku menatap tajam ke arah papan target, titik tengah itu adalah
mimpiku, aku harus bisa mencapainya. Senyum mereka, suara mereka, seolah
memberikan kekuatan pada anak panah yang akan kurilis.
Anak panah itu meluncur deras ke arah papan target.
Aku menatapnya dengan berbagai rasa yang berkecamuk dalam hatiku. Semua
berteriak dan berdiri ketika anak panah itu mendarat di target. Aku terdiam tak
percaya dengan yang kulihat. Anak panah itu tepat mendarat di tengah lingkaran
skor x, skor tertinggi dalam pertandingan.
Setelah penilaian selesai aku dipersilahkan mencabut
anak panah itu. Aku berjalan menuju ke arah papan target dengan rasa tak
percaya, semua seolah hanya mimpi. Kucabut anak-panah itu disaksikan ratusan pasang
mata di sana. Kulihat Kak Fajar tersenyum dengan mengangkat jempolnya dengan
penuh rasa bangga.
Pengumuman pemenang dan pembagian medali pun selesai.
Aku mengangkat piala yang kudapat. Aku memandangi medali emas yang dikalungkan di
leherku.
Medali emas pertamaku yang kudapatkan dengan
perjuangan yang sulit. Medali emas yang membuat mereka tersenyum. Aku harus
menjaganya sampai kapan pun.
Kak Arya bersama keluarganya.. Kedua orangtuaku datang
menyambutku. Ibuku langsung memelukku dengan tangis bahagia, Bapak ikut
terharu. Baru kali ini aku melihat bapakku menitikkan air mata. Selama ini aku
mengenal Bapak dengan sifatnya yang keras. Ternyata di dalam hatinya penuh
dengan rasa sayang yang tak bisa digantikan oleh siapapun.
"Kita foto dulu yuk dengan Srikandi kita dan Sarjana
kita," Kak Fajar mengajak kami berfoto.
Kami berfoto bersama. Kak Arya masih memakai baju
wisudanya lengkap, ia ingin aku ikut berfoto di wisudanya. Kak Arya memberiku anggrek
ungu kesukaanku, Wanda dan Kiky memberiku boneka Winnie the Pooh, dan Kak Fajar
memberiku sekotak cokelat.
"Kak, maaf, aku tidak memberi hadiah untuk wisuda
Kakak," aku merasa bersalah karena terlalu fokus dengan pertandingan
hingga lupa membeli hadiah untuk Kak Arya.
"Kemenangan kamu adalah hadiah terbesar untuk
Kakak," Kak Arya tersenyum sambil menepuk pundak.
Aku bahagia sekali hari ini.
Terimakasih, Tuhan. Aku janji akan meneruskan perjuanganku
dan membuat Indonesia menjadi yang terbaik di mata dunia. Aku janji akan
menjaga senyum mereka. Aku memang tidak bisa seperti mereka, tapi aku bisa
sukses dengan caraku sendiri, karena sesungguhnya Tuhan telah memberikan
kesuksesan tersendiri kepada kita, hanya kita saja yang harus berjuang
bagaimana cara menggapai kesuksesan itu. Ingat! Hasil tidak akan menghianati
proses.
***
Waktu terus berjalan. Hubunganku dengan Kak Arya
semakin dekat. Tetapi hanya sesaat kami bisa bersama. Kak Arya harus
melanjutkan studi di luar negeri.
"Dewi, kita sudah lama menjadi layaknya Adik-Kakak.
Saya tak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya, apakah kamu kembali
untukku atau akan melupakanku untuk selamanya. Jaga dirimu baik-baik
Dewi." Kak Arya mengakhiri pesan-singkat itu dengan menyertakan foto
liontin. Ia menitipkannya pada temannya.
Aku membalasnya, "Terima kasih Kak Arya, mana
mungkin aku lupa pada kakak yang baik sepertimu. Perihal pertemuan kelak, biar
Tuhan nanti yang kan memberi jalan. Kamu juga jaga diri baik-baik di sana ya,
Kak."
Aku yakin aku takkan menangis meski mata ini mulai
terasa basah. Berkaca-kaca. Tapi dari panahan aku yakin, seberapapun kita telah
mengunci target pada akhirnya mata-panah pun bisa saja terhempas angin yang tak
terkira sebelumnya.
Panahan bukan hanya sekadar melepaskan anak-panah dari
busur. Ia seperti hidup. Ada adrenalin kuat, fokus yang harus dijaga, serta nafas
yang terus berhembus. Kak Arya biarlah melesat, sementara aku akan tetap fokus
dan melanjutkan nafas hidupku.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar