KENANGANKU
Oleh: Nadia Farissa
Jakarta, 03 Oktober 2018
Di luar hujan turun dengan sangat deras, aku duduk di ruang kerjaku
dengan laptop yang masih menyala, memandang keluar jendela, dari tadi aku sudah
mulai tidak fokus dengan setumpuk tugasku, padahal jam telah menunjukkan pukul
00.00 wib, seketika pikiranku kembali ke masa-masa yang palingku rindukan yaitu
masa kecilku ketika di kampung halamanku.
Ya
aku adalah anak desa yang tinggal di pelosok pulau Sumatera bagian Barat,
dimana sawah-sawah nya masih terbentang luas dengan udara yang masih sejuk,
penduduknya juga sangat ramah, dan satu lagi tidak ada polusi udara karna
hampir semua penduduk nya masih menggunakan sepeda, mobil sangat jarang di
temukan disini begitupun dengan sepeda motor.
Pagi itu aku sedang terlelap di kamar yang sederhana ini, bertemankan
kasur kapuk yang kalau di kibas-kibaskan akan mengeluarkan debu yang sangat
banyak, tiba-tiba ku rasakan ada yang menarik selimut tebalku.
“
Nur, ayo bangun, jangan jadi anak pemalas kamu” kata emak
Sontak membuatku terduduk karna mendengar
suara emak yang menggelegar, jika boleh i, suara petir aja kalah kuat dengan
suara emak, aku jadi tersenyum sendiri memikirkan hal itu.
“cepat rapikan kasurmu setelah itu kau mandi, nanti jangan lupa kau sapu
rumah, sekalian kau pel sampai bersih” tutur emak
Seperti biasa setiap pagi emak akan membacakan sederetan pekerjaan yang
harus ku lakukan, yang saking lamanya kalau di tunggu sampai dinosaurus lahir
lagi di bumi juga gak bakalan selesai.
Aku berjalan menuju kamar mandi
meninggalkan emak yang masih dengan ocehannya, inilah pagi ku yang tak pernah
sepi, sunyi, hening, tenang, damai, tentram, dan sejahtera oleh celotehan emak.
Setelah selesai mandi aku melewati dapur, dan ku dapati kakak ku yang
pertama bernama Ratna sedang memasak untuk sarapan kami nanti.
“kak”, sapaku
“kak, kak Sinta dimana? Itu adalah nama kakak
kedua ku,
“sudah pergi ke sungai daritadi” jawab kak
Ratna.
Disini baru menunjukkan pukul 04.30 wib, bisa
kalian bayangkan disaat adek-adek ku masih tertidur pulas di kamar nya
bertemankan mimpi sedangkan aku dan kedua kakak ku sudah bangun pagi-pagi buta
untuk membantu emak, pernah suatu ketika aku protes dengan persoalan pembagian
tugas ini.
“kerjakan saja apa yang emak katakan, jangan
banyak tanya, semakin banyak kau bicara semakin lama pula kau selesai”, itulah
jawaban emak.
Di rumah yang sederhana ini, kami tinggal ber 8, aku adalah anak ketiga dari
enam bersaudara, dua orang kakak ku yang tadi sudah sempat ku sebut dan tiga
orang adikku, dua orang laki-laki dan yang paling bungsu adalah perempuan, dan
di tambah emak dan bapak.
Setelah menyelesaikan tugas beres-beres ku, dan kita semua juga telah
melaksanakan shalat subuh berjama’ah, akhirnya kita semua berkumpul di meja
makan, ketika makanan telah terhidang di meja makan, satu persatu dari kami
mulai berebutan untuk mengambil nasi dan lauk nya, seakan-akan jika kami
terlambat sedikit saja untuk menyendoknya ke piring masing-masing, nanti kami
tidak akan kebagian, bapak hanya tersenyum melihat tingkah anak-anak nya.
“sini biar emak yang bagikan buat kalian” ucap
emak, yang membuat aku dan kelima saudara ku secara serentak melepaskan sendok
nasi dan lauk yang kami rebutkan tadi.
Setelah emak selesai membagikan makanannya, kami semua dengan lahap
menikmati makanan yang ada di piring masing-masing, ketika aku menyuap nasi ku
dengan penuh semangat, tiba-tiba kak Sinta menyikut ku yang kebetulan duduk di
sebelahnya, kak Sinta berbisik ke arah ku,
“gak mau ah kak”, balas ku dengan berbisik
juga
“nanti di marahin emak” lanjutku
“Kita ke sawah buat bantuin Ranti( salah seorang temanku), soalnya dia lagi butuh uang
buat beli baju lebaran Nur” ucap kak Sinta.
Di satu sisi aku ingin sekali bantuin temanku, tapi di sisi lain aku
juga takut kalau emak tau pasti emak bakalan marah besar, setelah terjadi
perdebatan dalam diriku akhirnya aku memutuskan untuk pergi bersama kak Sinta.
Di desaku hal lumrah ketika seorang anak harus bekerja keras untuk
mendapatkan dan memenuhi kebutuhannya sendiri, karena disini masih banyak
sekali masyarakat kurang mampu, bisa makan tiga kali sehari saja sudah
untung-untungan apalagi sampai bisa beli baju buat lebaran.
Akhirnya kami berangkat ke sawah dengan berbohong kepada emak, izinnya
cuma main bentar doang, dan untungnya emak gak curiga sama sekali tapi emak
cuma pesan nanti pulangnya gak boleh kemaleman.
Sesampainya di sawah, dari kejauhan kami sudah melihat Ranti yang lagi
semangat-semangatnya memanen padi, bagaimana tidak karna semakin banyak padi
yang kami panen nanti maka semakin besar pula lah upah yang kami dapatkan,
Ranti menoleh ke arah kami, ia langsung melambaikan tangan dan mengisyaratkan
agar kami menyusulnya.
“Nur, kak Sinta, ini” (sambil menyerahkan
pisau kecil atau yang biasa kami sebut dengan silet)
“begini caranya” dengan senang hati Ranti
mengajarkan kami cara memanen padi dengan baik.
Tidak terasa matahari yang awalnya bersinar dengan terang sudah hampir
redup itu menandakan bahwa ia telah hampir menyelesaikan tugasnya dan akan
digantikan oleh bulan dan bintang, saatnya hasil padi yang sudah di panen tadi
akan kami bawa ke tempat penggilingan padi, agar di timbang dan di beri upah
untuk jerih payah kami seharian, dan upah yang diberikan kepada ku dan kak
Sinta akan kami berikan kepada Ranti untuk membeli baju lebarannya.
Sepulangnya dari tempat penggilingan padi, kami bergegas menuju pasar
agar nanti bisa pulang ke rumah sebelum adzan maghrib berkumandang, setelah
berkeliling-keliling pasar akhirnya kami menemukan baju yang sesuai selera dan
cocok untuk temenku.
Setelah itu kami berjalan menuju jalan pulang dengan hati yang senang,
sebelum aku, kak Sinta dan Ranti, pisah di persimpangan jalan, Ranti
mengucapkan terimakasih karna seharian telah membantunya.
Setelah itu kami berpisah, aku
dan kak Sinta berlari menuju rumah, ku lihat emak sudah mondar-mandir di depan
pintu rumah,
“Mampus aku” tuturku dalam hati
Sepertinya kak Sinta juga mengucapkan kalimat
yang sama di dalam hati nya karna sangat terlihat dari mimik wajahnya.
“Assalamu’alaikum” ucapku
“Wa’alaikumussalam” jawab emak, dengan sorot mata
yang tajam seperti harimau yang siap menerkam mangsanya
“Darimana saja kalian?” tanya emak
Kami berdua hanya bergeming tak berani
menjawab
“Emak tanya kalian berdua main kemana saja
seharian?”dengan nada suara yang makin meninggi.
Akhirnya dengan suara bergetar aku menjawab”
tadi habis dari sawahnya bang Ipul mak…..” ketika aku ingin melanjutkan kalimat
ku, tak tau kenapa tiba-tiba rasanya mulut ini terkunci.
Mendengar hal itu tatapan emak makin tajam, yang awalnya memandang kami
dengan tatapan harimaunya sekarang sudah berganti menjadi tatapan harimau
kelaparan yang lagi bunting,
“dari sawah kata kalian?, emak sama bapak
bekerja seharian itu semua untuk kalian, supaya kalian belajar yang
bener,harusnya kalian bersyukur tidak perlu cari uang lagi untuk memenuhi
kebutuhan sendiri, dan dari awal kan emak tidak pernah mengizinkan kalian ke
sawah, tapi tetep saja kalian langgar, di kasih hidup seneng kok malah minta
yang susah”
Tiba-tiba aku tersadar dari lamunan ku, dan tanpa ku sadari air mataku
mengalir di pipi, aku menangis dalam diam, aku rindu kecerewetan emak, aku
rindu kebijaksanaan bapak, aku rindu saat-saat berebutan makanan dengan
saudara-saudara ku.
Dulu aku sangat jengkel jika di beritahu atau dimarahi oleh emak, sekarang
aku baru menyadari kalau semua kemarahan, kecerewetan, tak lain dan tak bukan
ialah bentuk kasih sayang emak terhadap anaknya, dan rasa khawatirnya jika ia
tidak bisa mendidik kami, anak-anak nya menjadi pribadi yang lebih baik lagi di
masa depan.
Terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangan kerjaku, spontan ku
menyeka sisa-sisa air mata yang ada di pipi, kemudian muncullah seorang wanita
cantik dengan setelan pakaian yang sama sepertiku ya dia adalah bawahan ku,
“ah ternyata benar dugaaan ku kalau kamu masih
disini” ucapnya
“Kita pulang yuk”, ajaknya
“sudah terlalu larut Nur” katanya
“Yuk Ranti”, jawab ku sambil tersenyum dan
merangkul nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar