KETIKA AJANIB MASUK DAKHILI
Oleh : Restu Mardhotillah
“Labas? Bikhair?
Mizyan?”. “Lhamdolillah, Saha labas? Kulchi Mizyan?”. “Redha......”, belum
selesai aku bersalaman dengan teman-teman Magribiyah
(orang Maroko), teriakan panik khas Laila menghentikan sapaanku. Hari ini
merupakan hari pertama sekolah setelah sekian lama menghabiskan waktu liburan
musim panas yang teramat panjang. Banyak yang menghabiskan liburannya dengan
bepergian ke pantai, kampung halaman, bahkan ada yang hanya berdiam diri di rumahnya masing-masing.
Tentu saja rasa rindu karna sudah lama tak bersua akan dilampiaskan pada hari
ini. Ditambah lagi dengan suasana sekolah baru yang membuat nyaman untuk
bercerita tentang liburan musim panas kali ini. Laila mengganggu saja, batinku.
Ingin rasanya aku mengabaikan Laila namun setelah melihat ekspresi paniknya kuurungkan
niat tersebut. Sambil tergegas ia berjalan menuju tempatku dan teman-teman yang
lain.
“Kamu kenapa sih heboh banget?” celoteh Lena yang tentunya
ditujukan untuk Laila.
“Bisa diam dulu ga sih? Ane punya kabar penting nih buat
kita semua. Terserah sih mau dengar atau tidak yang jelas ane mau kasih tahu kata
mudir (kepala sekolah), kita yang ajanib (non Maroko) ini akan dimasukan
ke dakhili (asrama)”. Balas Laila dengan wajah kesal setengah
panik.
“Ha willi willi, ottokae, gimana nih guys? Lo pasti bercandakan Lail?”
sahut Jiya dengan gayanya yang super gaul.
“Liat aja nanti!”
cetus Laila karna tidak ada yang mau mempercayainya.
Percaya ataupun tidak, yang jelas perkataan Laila sudah
membuat aku dan 8 orang temanku cemas. Gimana tidak cemas ? masuk dakhili loh kalian bisa bayangkan
bagaimana susahnya tinggal bersama orang Maroko dengan berbagai macam peraturan
yang mereka miliki. Teman Magribiyyah
yang di dakhili saja sering mengeluh
dengan peraturannya, apalagi kami yang ajanib
ini. Ditambah lagi dulunya, pernah ada kakak kelas kami yang juga disuruh masuk
dakhili dan mereka menangis habis-habisan minta pulang karna tidak tahan
tinggal disana. Pulang-pulang dari sana, berat badan mereka turun drastis.
Penyebabnya tentu karna tekanan batin di
dakhili. Gimana tidak, dengan begitu
padatnya kegiatan dan sempitnya waktu istirahat, ditambah lagi dengan makanan yang tentunya
terasa asing di lidah kita, membuat mereka memilih untuk tidak memakannya dan
tentu saja itu membuat mereka lapar karena tidak ada yang bisa dimakan. Membawa
makanan dari rumah pun juga tidak diperbolehkan.
Saat sedang hanyut dalam khayalan tentang dakhili dan segala
kemungkinan buruknya, kami dikagetkan dengan bunyi langkah kaki diiringi dengan
suara tongkat yang sudah tidak asing lagi. Ruangan yang awalnya serasa pasar
berubah menjadi hening dengan seketika. Dugaanku benar, suara langkah kaki itu
milik Mudir. Dengan penuh semangat Mudir mengucap salam dan menyampaikan
sepatah kata untuk semua orang ada didalam ruangan ini. Sambutan yang diawali
dengan hangat dan menyenangkan namun berujung menegangkan. Tepat dimana Mudir
mulai mengabsen satu persatu untuk menanyakan kepastian thalibah (mahasantriwati) hendak masuk dakhili atau khariji (non
asrama). Sebenarnya pertanyaan itu tidak begitu menegangkan. Ketegangan itu
timbul setelah Mudir mengabsen di kelasku tanpa terkecuali kami. Berhubung
absen pertama dari kami itu Lena, dengan cepat dia menjawab “khariji” lalu Mudir menggelengkan
kepalanya dan dengan mantap berkata “Ajanib semuanya di dakhili insyaallah”.
Kecemasanpun mulai menghampiri kami semua.
Semenjak hari itu, kami selalu berusaha untuk menghindar
jika bertemu Mudir karena takut akan
ditagih untuk segera ke dakhili.
Namun usaha kami gagal, dengan berat hati kami harus hidup di dakhili minggu depan. Malamnya aku dan Adel
menyampaikan kepada yang lain bahwa kita akan memasuki dakhili minggu depan sesuai dengan apa yang dikatakan mudir. Tanpa menunggu lama, Riri,
Nabila, Iis dan Hayati langsung menangis terisak-isak. Mereka berempat sangat
tidak menginginkan dakhili berhubung
karena mereka sudah berada di tingkat akhir, jadi mereka tidak ingin terkekang
dengan peraturan yang ada, begitupun juga kami. Disaat itu, kami diberi saran
oleh kakak tingkat yang ada di rumah untuk meminta beberapa kelonggaran.
Seperti di perbolehkan memasak masakan Indonesia sebab lidah ini masih belum
terbiasa jika tidak mengonsumsi nasi walaupun hanya satu kali dalam sehari. Membawa
beberapa makanan ringan untuk mengganjal perut jika merasakan lapar dan yang
paling penting membawa hp sebagai sarana belajar dan komunikasi. Keesokan
harinya, mereka yang semalam menangis karena tidak mau masuk dakhili pergi menemui Mudir untuk meminta kelonggaran seperti
saran yang disampaikan oleh kakak tingkat. Alhasil Mudir mengizinkannya.
Masuk dakhili.....
Pagi ini semua orang bangun dengan bermalas-malasan termasuk
aku. Tentu kalian tahu penyebabnya, apalagi kalau bukan dakhili. Siang ini aku dan sembilan temanku akan keluar dari zona
nyaman, maaf maksudku aku dan tujuh orang lainnya. Karena Mita kekeh untuk
tidak masuk ke dakhili . Menurutnya,
banyak hal lain yang bisa ia lakukan di rumah dibandingkankan harus ke dakhili. Seperti menulis, sebab salah satu hobinya adalah menulis. Tulisannyapun
juga sudah banyak; ada yang di watpad, blog dan sejenisnya. Katanya dia akan
survei dahulu untuk bisa tinggal di asrama. Sedangkan Hayati tidak bisa
berangkat hari ini karena dia sedang sakit dan akan menyusul kami besok.
“Kenapa rasanya seperti ingin meninggalkan rumah saat masuk
pondok dulu ya?” ucap Nabila.
“Masok pak eko” balas Jiya dan itu membuat kami tertawa
setidaknya mereka bisa memperbaiki sedikit mood kami hari ini.
“Adik-adik nanti
berangkatnya pakai naql (mobil
khusus) ya, tadi aku sudah telepon ustadznya.” Kata mbak Ifah selaku kakak
tingkat sekaligus ketua rumah kami. Beliau memang sering berkomunikasi dengan
pihak sekolah mengenai apa-apa yang bersangkutan dengan rumah.
Tepat saat naql
datang, semua penghuni rumah turun untuk mengantarkan kami. Rasanya seperti
ingin pergi jauh saja tapi begitulah adanya. Saat semua sudah berada di dalam naql, mbak Ifah meneteskan air mata. Hal
tersebut membuat semua yang berada di dalam naql
kembali bersedih apalagi Iis sebagai teman kamar dari mba Ifah sendiri.
Sebenarnya masuk dakhili ini
merupakan salah satu alternatif untuk bisa hidup hemat, karena untuk pulang
balik dari sekolah dan rumah saja bisa menghabiskan 40DH sekedar untuk membayar taxi. Sebab, jarak
rumah dan sekolah yang sangat berjauhan. Sesampainya di sekolah, sebelum
memasuki dakhilli barang yang dibawa
akan diperiksa terlebih dahulu. Karena memang peraturan sekolah yang seperti
itu agar tidak ada thalibah yang
membawa makanan dan hp ke dakhili. Belum sempat koperku di periksa, mudir
datang ke arah kami dan menyampaikan kepada musyrifah (pembina asrama) bahwa koper
ajanib tidak perlu di periksa. Sesuai dengan yang kami minta kami diperbolehkan
membawa makanan dan juga handphone.
Waktu baru menunjukkan jam 21.15 dan seketika seluruh lampu
mati. Hal ini membuat kami tidak bisa beraktifitas. Awalnya kami mengira kalau ini merupakan waktu
untuk tidur. “Kenapa lampunya sudah dimatikan? bagaimana kita akan belajar
kalau lampunya di matikan seperti ini?” kata Adel. Tak lama setelah itu, musyrifah datang mengantarkan selimut
dan seprai untuk kami dan bilang kalau lampunya tidak dimatikan melainkan mati sendiri. Mau tak mau kami
hanya bisa berbaring di kasur ditemani hp masing-masing.
“Nanti kalau udah mau
tidur bilang-bilang ya” ucap Iis di tengah-tengah keheningan.Hal itu membuat
Jiya tertawa terpingkal-pingkal dan dia punya bahan untuk candaan sebelum tidur
malam ini.
“ Hahahaha.... Iis lo kayak anak kecil yang takut ditinggal
tidur aja sih padahal umur lo aja udah mau kepala dua” canda Jiya dan dibalas
dengan tawa dari kami semua.
Malam ini tidak begitu
buruk pikirku, tapi yang namanya tidur di tempat baru membuatku kurang nyaman
ditambah lagi dengan adanya Lena yang membuat mataku susah untuk tidur. “Redha”
panggil Lena kepadaku, dia tidak bisa tidur karena takut. “Yaaa..” jawabku
singkat karena aku sudah mulai mengantuk. Tak lama setelah itu dia memanggilku
lagi dan aku masih menjawab dengan kata “Yaaa...” dengan nada rendah karena aku
sudah hampir tertidur. Untuk ketiga kalinya dia memanggilku di saat aku sudah
setengah tertidur. Kalian tau bagaimana rasanyakan, aku terkejut dan matakupun
lansung menyala dan tidak bisa tidur lagi itu sangat menyebalkan. Dan yang
lebih parahnya lagi disaat aku tidak bisa tidur dan memanggilnya dia malah tidak
menjawabku karena sudah tertidur pulas. Disaat sudah tertidur, aku sering
terbangun dari tidur. Hal yang sama juga dirasakan oleh Iis dan Nabila. Bedanya,
di saat mereka terbangun mereka melihat seseorang yang sedang berjalan dari
kasur ke kasur yang lainnya. Itu sangat menyeramkan dan berusaha tidur agar tidak diketahui oleh orang
tersebut.
Hari ini Mudir
kembali menemui kami dan membahas masalah dakhili
. Lalu, kami meminta untuk bisa segera diizinkan memasak sendiri setidaknya
untuk makan sekali dalam sehari dengan menu masakan Indonesia. Tanpa menunggu
lama Mudir langsung memperbolehkan.
Kemudian beliau meminta ‘ammu (paman)
Ridwan selaku harits (penjaga) di
dakhili untuk membelikan bahan-bahan yang kami butuhkan. Sepertinya mudir tau bahwa lidah kami tidak
terbiasa mengonsumsi sa’riyah bil halib (sejenis
mie spageti yang di campurkan dengan susu), dan harirah (masakan khas maroko biasa dimakan saat berbuka puasa)
mungkin dari berbagai menu yang ada ,kami hanya bisa mengonsumsi nasi dengan
kuah kuning plus suiran ayam, sebab hampir sama dengan makanan Indonesia. Semenjak itu, setiap kami selesai masak,
‘ammu Ridwan selalu menagih jatah untuknya karena beliau ingin mencoba juga
masakan yang kami buat.
Ternyata, usut punya usut orang yang dilihat oleh Nabila dan
Iis saat mereka terbangun pada malam hari itu adalah musyrifah yang sedang bertugas di malam hari. Satu hal yang ingin
aku sampaikan ternyata dakhili itu tidak seburuk yang kami bayangkan. Mungkin
karena juga kami mendapatkan saran dari kakak-kakak yang lainnya agar kami bisa
tinggal nyaman disana. Selain itu kami juga merasakan berapa manfaat lainnya
saat tinggal disana seperti melaksanakan shalat tahajud rutin, lebih banyak bersama dengan Al-qur’an, datang ke
sekolah tepat waktu, lebih menghemat kantong, dan yang paling penting lagi kami
bisa belajar langsung dengan teman-teman maghribiyah jika kami tidak paham
dengan pelajaran di kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar