Oleh : Muhammad Faza Rosyada
NGAJI FILSAFAT:
"Pertemuan antara Aku, Hegel, dan Descartes dipersimpangan
jalan".
.................................................................................................................................
"Setiap orang lahir tidak tahu mengapa, menjalani hidup dalam
berbagai kelemahannya, lalu mati secara tiba-tiba." (Jean-Paul Sartre)
Filsafat adalah kisah pergumulan dan perjuangan manusia dalam
memahami dunianya, eksistensi dan esensi dalam hidupnya. Begitu seorang bayi
manusia lahir dan akalnya berfungsi dengan baik, ia akan berkembang dengan
berbagai pertanyaan tentang dirinya dan kehidupan disekelilingnya. Tentang awal
mula dunia, penciptaannya, penciptanya, tentang mengapa dirinya di-ada-kan,
untuk apa dirinya ada, tentang tujuannya, tentang kematian dan berbagai
persoalan paling mendasar lainnya. Semua pertanyaan itu ada karena manusia
merupakan satu-satunya makhluk yang mempunyai kemampuan berpikir, satu-satunya
makhluk di muka bumi ini yang menyadari keberadaan dirinya. Maka tak pelik jika
para pemikir membuat had atau dinding pembatas antara dirinya dengan makhluk
hidup lain di semesta ini, bahwa manusia sebagai "Animal rationale",
"Al-insaanu hayawaanun nathiq": manusia sebagai hewan yang
berakal budi. Jati diri asasi manusia yang membedakannya dengan makhluk-makhluk
lain.
Mohammad Hatta, dalam bukunya "Alam pikiran yunani",
mengatakan bahwa pengertian filsafat sebaiknya tak usah dibicarakan secara
khusus, karena; Jika seseorang telah banyak membaca atau mempelajari filsafat,
maka dengan sendirinya ia akan tahu apa yang dimaksud dengan filsafat itu
sendiri. Menurutnya, dari pada sibuk menafsirkan pengertian filsafat yang
dirumuskan secara berbeda oleh masing-masing filsuf lebih baik kita mulai
berpikir secara filosofis dalam menjalani kehidupan kita masing-masing.
Banyak manusia di muka bumi ini yang tidak menyadari apa yang
sedang, telah, atau yang akan diperbuatnya secara penuh. Mereka hanya hidup
secara mekanis, ikut-ikutan, taklid, dan "mengalir" tanpa tahu akan
kemana, untuk apa, dan mengapa. Hidup hanya bertumpu pada rutinitas, mengikuti
apa yang di lakukan kebanyakan orang tanpa tau alasannya, menerima apapun yang
dikatakan orang lain tanpa ingin mencari kebenarannya, merasa tahu padahal
tidak tahu, dan merasa bisa padahal belum tentu bisa. Hidup memang seharusnya
dipahami dan diuji, apalagi di zaman ketika teknologi dan globalisasi sudah
menjadi santapan sehari-hari. Jangan sampai kesadaran kita sebagai manusia
musnah. Jangan sampai kita menelan segala yang dunia suguhkan tanpa mengujinya
secara adil dan bijak. Socrates, seorang empu dari dunia per-filsafat-an pernah
bilang "the unexamined life is not worth living" (hidup yang tidak
diuji adalah kehidupan yang tak berharga).
Kesadaran manusia ada sebelum segala bentuk pikiran, konsep, bahasa
ataupun kata “kesadaran” itu sendiri terucapkan. Memahami dan menyadari
'kesadaran' secara otomatis membawa perubahan mendasar pada cara berpikir dan
cara hidup seseorang. Ketika banyak orang menyadari 'kesadaran' ini maka
otomatis hidupnya akan dibaktikan untuk kepentingan bersama, karena setiap
perbuatannya merupakan keadilan dan kebijaksanaan untuk semesta.
Sadar adalah merasa, ingat, atau tau dengan keadaan yang terjadi.
Maka tanpa kesadarannya, dunia luar tidak bisa masuk pada diri setiap manusia.
Suatu ketika Descartes bilang, COGITO ERGO SUM. I think
therefore i am. Aku berpikir maka aku ada. Pikiran merupakan entitas yang lebih
tinggi daripada tubuh (red: indra). Menurutnya, kesadaran manusia
terletak pada pikirannya, sedangkan
tubuh hanyalah perantara yang mengamini kemauan pikiran manusia. Tubuh hanyalah
penipu ulung yang tak akan mengantarkan manusia kepada suatu kebenaran yang
nyata.
Kawanku Hegel, anggapannya perihal kesadaran tak berbeda jauh
dengan Descartes. Kata dia, kesadaran sudah terpatri dalam setiap diri manusia.
Tubuh dan pikiran melengkapi satu sama lain sebagai sarana yang menggugah
kesadaran manusia. Tapi, ia tetap menganggap bahwa tubuh mempunyai peran lebih
penting dalam mengantarkan manusia kepada kesadarannya. Tanpa pengindraan,
dunia tak punya jalan yang kan mengantarkannya kepada ranah pikiran. Akibatnya
pikiran manusia akan terpenjara, ia tak bisa menerima apa yang seharusnya ia
terima, ia tak bisa mengeluarkan apa yang seharusnya ia sampaikan kepada dunia.
Pikiran terpenjara dalam tubuh yang seolah bernyawa.
***
Seminggu selepas pertemuanku di persimpangan jalan menuju taman
kota; Aku, Hegel, dan Desca kembali bertemu di sebuah cafe. Cafe tempat biasa
aku memelihara kenangan, Callifornia. Pertemuan yang kali ini benar-benar kita
rencanakan.
Sabtu. Pukul 7:30 aku sampai di cafe kecil itu. Malam terbilang
lengang. Hanya pemuda berumur 20 tahunan yang terlihat duduk di dekat jendela
bersama 2 kawannya. Mataku menyapu seluruh bagian ruang yang terlihat luas akibat
sepi pengunjung. Desca kutemukan dibagian paling dalam dengan rambut sebahunya
yang kali ini ia kuncir, rapih. Dan Hegel, dengan rambut cepaknya yang seakan
tak mungkin lagi tumbuh membenahi cara duduk sembari melempar senyum. Ia
mengangguk kepadaku. Ramah.
Beberapa menit lamanya kita duduk cafe itu, Descartes maupun Hegel tetap
dalam posisi seperti semula, belum sekalipun mereka mengucapkan sekedar kata. Mereka
tak seperti ketika kita bertemu di persimpangan jalan seminggu lalu. Malam ini mereka
hanya sibuk dengan kesemrawutan dirinya masing-masing, seakan diri mereka haus
akan nasihat dari orang lain. Sampai akhirnya aku berdehem lirih, memulai kata
yang entah akan sekedar mempengaruhi pemikiran kedua filsuf ini, atau mungkin
kata-kataku hanya akan berakhir disebuah ruang yang tak pernah mereka singgahi.
(*)
"Kau serius dengan perbincangan di persimpangan jalan seminggu
lalu?", mereka mengangguk mengiyakan dengan tatapan yang masih kosong,
pertanda tak ingin keluar dari lamunannya masing-masing.
"Desca, kau tak bisa menuhankan pikiran lalu mencampakkan
indra manusia begitu saja", lanjutku setelah sekian detik berlalu.
"Pikiran, tubuh, dan segala yang kita miliki masing-masih sama
penting, semuanya punya peran, kau tak bisa mendahulukan yang satu lalu
menganak tirikan bagian yang lainnya. Bayangkan jika dirimu hanya diberi
pikiran yang begitu cemerlang lengkap dengan isi yang penuh berjejal, kau takkan
bisa menemui dunia luar, kau tak akan pernah menemukan wujud diriku tanpa indra
pengelihatanmu, kau takkan pernah tahu pahit kopi yang kau pesan ini tanpa
indra pengecapmu. Tanpa tubuhmu, kau tak akan bisa menulis 'Principia
Philosophiae' yang telah membuatmu besar. Singkatnya, orang yang tak punya
indra maka pikirannya akan terkurung dalam kegelapan, ia hidup sekaligus mati.".
Hegel tersenyum tipis dengan mata bertumpu pada secangkir kopi,
merasa bahwa seseorang memihak pemikirannya.
"kau juga Hegel, manusia dengan pengindraan yang sempurna
sekalipun, tanpa pikiran ia tak ada bedanya dengan binatang. Tingkahnya tanpa
maksud, lakunya tak lebih sekedar terjadi lantas berlalu. Tanpa pikiran,
manusia kehilangan jati dirinya sebagai 'animal rationale'.", lanjutku
dalam keheningan kota yang semakin malam.
(**)
Seseorang dengan pengindraan yang sempurna, dengan pemikiran atau
ide yang begitu cemerlang sekalipun tetap tak ada guna jika tak memiliki
kesadaran, ia hanya menjadi pecundang bagi semesta jika lakunya tidak didasari
kebijaksanaan. Dengan orang seperti itu, kebenaran tak lagi menemukan arti.
Peraturan hanya tinggal alat untuk mendakwa kawanan lain. Tanpa perasaan, ia
akan menghalalkan segala cara atas nama kebenaran atau modernitas dengan
menyakiti makhluk hidup lain. Tanpa pikiran, manusia keluar dari batas-batasnya
sebagai 'al-insaanu hayawaanun naathiq': hidup tak lebih mulia dari
anjing dijalanan. Tanpa pengindraan seseorang tak akan mampu berpikir, ‘summum
bukmun' umyun fahum laa ya'qiluun’: jalan menuju kesadaraannya tersekat, ia
tak mampu menerima apa yang seharusnya ia terima. Dengan anugrah yang telah
tuhan berikan kepada manusia, kita haruslah adil dan bijak, menggunakan pikiran
dan tubuh sebagai sarana menyebarkan kebaikan. Tidak membiarkannya terlantung
dengan segudang lamunan, dengan tubuh yang terbaring di zona nyaman.
Ta(b)ik!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar