Oleh : Asep Syaifullah
Satu tahun berlari
demikian cepat. bayangan musim dingin di sendi sendi kota el jadida - maroko masih
terasa amat kuat. Rangkap baju tebal selalu merekat rapat di setiap saat.
Hingga aroma hidangan penghangat pun bertebaran di berbagai tempat. Bisa
dinikmati langsung atau hanya sekedar melihat lihat. Itu juga jika sempat, dan
kondisi finansial masih sehat wal afiyat.
Tak di sangka, sekarang
kita sudah memasuki permulaan tahun baru dengan berbagai narasi kehidupan.
Untaian hari di tahun lalu sudah menjadi bubur sejarah dalam diri kita selama
satu tahun. Entah baik ataupun buruk tak bisa di nilai orang. Namun catatan
laku bisa di kenang sesekali oleh setiap insan.
Roman 2019 mengingatkan kembali,
awal perjalan saya mencari ilmu di atas kebaikan bumi seribu benteng. sekaligus
membawa memori di mana saya mendapat kesempatan oleh Prof. Dr. Nurrudin Lihlu untuk
mempresentasikan “teori masuknya islam di nusantara” di hadapan halayak pelajar
mancanegara.
Terasa baru kemarin
saya mendengar komentar beliau : “bagaimana tujuh belas ribu pulau dengan ribuan
bahasa, adat dan budayanya bisa di satukan dalam satu Negara, dengan satu
bahasa resmi ? sungguh, ini hal yang sangat luar biasa”.
Tidak hanya itu, pujian
demi pujian terhadap bumi pertiwi Indonesia kian saya terima di berbagai
tempat. Di pasar, taxi, kereta, bus, bahkan di jalan. Akan keramahan orang
Indonesia, etika dan moral yang baik, suka menolong sesama, selalu tercap mumtaz
untuk Indonesia.
Namun, tidaklah mereka
lontarkan pujian tersebut saat bertemu orang indonesia secara langsung. Bahkan,
tak jarang saya di kira orang china, filipina, Thailand, atau Malaysia. Membuat
saya berpikir, apa yang membuat mereka tidak mengenal identitas saya ? Apa
mungkin, di karenakan kesamaan ras asia secara umum, menjadi sulit di bedakan ?
Saya rasa tidak, dan bisa juga benar begitu.
Di anggap orang china
atau negara lain, terasa kurang nyaman di manapun kita berada. Entah mengapa,
penisbatan sebagai anak bangsa menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya. Menggugah
anugrah pemberian dari tuhan untuk menganalisis perihal yang ada.
Hingga timingpun tiba. Beberapa
orang yang saya jumpai menyapa dengan seruan “ ahlan andunisia. Ikhwaanuna ” (selamt datang saudara Indonesia
kami” Atau “anta andunisia (apakah
kamu orang Indonesia)? masyallah musyarofiin”
dalam berbahasa arab yang memiliki makna sapaan hangat saat bertemu.
Dalam benak saya
berpikir, apa yang membuat mereka langsung mengetahui identitas saya secara
spontan ? Sampai suatu hari, saya beserta kawan melakukan perjalanan pulang dengan
kereta dari kota Casablanca menuju kota el jadida dan bertemu dua gadis; berambut pirang dan lurus, mereka berbisik
berdua dan menyapa kami. “excuse me, this
is a first class or second class train ? ”. setelah mendengar jawaban kami, merekapun bertanya kembali : “are you Indonesian ? ” dengan bangga kami
jawab : “ yes, we are ! and you ? ”. “we
are moroccan, but I studied in France and she worked in China”. kamipun tak
menyia-nyiakan kesempatan dan bertanya balik: “how do you know, we are
Indonesian ?”. “your black cap” tegas
mereka. Mengisyaratkan ke kopiyah songkok hitam milik teman saya.
Gembira serta nyamanpun
merayap lega. Bak orang keluar dari kamar kecil tanpa penjaga. Jawaban
identitas kebangsaan yang saya cari sudah di genggang dan tak kemana. Terima
kasihpun kami sampaikan kepada mereka dengan senyum dan gerakan tangan has
Indonesia. Membuat mereka membungai pujian “you
are nice people in the world, yahhh ” tegas mereka.
Songkok hitam nasional,
ternyata tak hanya di pakai saat acara pengajian, kebudayaan, atau kondangan
saja. Melainkan sudah menjadi simbol identitas Internasional Negara kesatuan
republik Indonesia kita. Songkok yg telah di kenalkan kepada dunia oleh sang Founding Father negeri kita Ir. Soekarno.
Memiliki jejak sejarah teramat berharga.
Seperti kutipan Cindy
adams dalam buku nya yang bejudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara :"…Kita memerlukan sebuah
simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip
yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita.
Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai
lambang Indonesia Merdeka." Di situlah awal mula Soekarno mempopulerkan
pemakaian peci atau songkok berawarna hitam.
Dalam literasi lain di
sebutkan bahwa peci songkok hitam Merupakan rancangan khusus kanjeng sunan
kalijaga untuk dipersembahkan kepada Raden Fattah sebagai simbol seorang raja
atau dikenal dengan sebutan kuluk. memiliki bantuk lebih sederhana daripada mahkota ayahnya, raja terakhir
Majapahit Brawijaya V, dan lebih besar sedikit dari songkok nasional sekarang. Hal
ini tak lain, agar sesuai ajaran Islam yang egaliter. Di mana raja dan rakyat
sama kedudukannya di hadapan Allah SWT. Kecuali ketakwaan yang membedakan.
Dan saat ini songkok hitam nasional
kita, sudah di kenal berbagai Negara dan bangsa. akan ke Has-san dan tidak di temui
di belahan bumi lain. Serta menjadi tanda pengenal otentik bahwa pemakai nya
adalah orang Indonesia.
Setiap Negara pasti
memiliki simbol masing masing. begitupun dengan republik kita. Bahkan kita
memiliki ribuan pakaian adat, pusaka dan simbol simbol kedaerahan lain yang
melimpah. Akan tetapi, simbol persatuan republik kita tetaplah satu. satu bendera
merah mutih, satu lambang garuda pancasila sedang mencengkram kuat bineka
tunggal ika, dan songkok hitam Nasional pusaka Nusantara.
Maka jagalah ia
kemanapun kalian berada. Banggalah mengenakan kebesaran nya di manapun
membusungkan dada. Harumkan selalu nama Tanah Air bersama nya. dan Hormati ia
sebagai simbol identitas tiada dua. Dan pertahankan kedaulatan republik
kesatuan Negara kita dengan memegang prinsip satu rangkaian kata. : “NKRI harga
mati, kau luar biasa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar