Oleh: Asyraf Muntazhar
Beberapa tahun belakangan ini, dunia perindustrian sedang
disibukkan dengan perubahan lainnya dalam hal perindustrian. Revolusi Industri
Keempat atau Revolusi Industri 4.0, begitu mereka-mereka para pelaku industri
internasional menyebut perubahan ini. Ini merupakan era inovasi disruptif, atau
era dimana terciptanya banyak inovasi-inovasi baru yang membantu terciptanya
pasar baru, namun sekaligus juga berpotensi mengganggu atau bahkan merusak dan
menggantikan posisi tatanan pasar terdahulu yang sudah ada.
Tujuan utama dari Industri 4.0 ini adalah terciptanya
“pabrik-pabrik cerdas”, yaitu pabrik-pabrik yang sudah berstruktur moduler,
bersistem siber-fisik, menciptakan salinan dunia secara virtual, dll. Revolusi
ini diproyeksikan pada akhirnya akan menghasilkan tatanan baru dalam dunia
perindustrian, dimana hampir semua proses dapat dilakukan dengan sistem Internet
of Things atau IoT. Tidak lagi diperlukan interaksi antar-manusia untuk
melakukan sesuatu terhadap objek, bahkan manusia dengan perangkat komputer.
Semua dilakukan murni dengan basis internet. Salah satu contoh terdekat, bisa
dilihat bagaimana perusahaan-perusahaan penyedia transportasi di Maroko yang
mulai menggagaskan pemesanan tiket berbasis online, seperti CTM, ONCF,
Markoub, Karim, dan sebagainya.
Sebagai contoh lain dari efek masuknya Era
Revolusi Industri 4.0 dewasa ini adalah bagaimana berita-berita sekarang bisa tersebarluas
hanya dengan hitungan detik. Mungkin dapat dibayangkan, bagaimana untuk
mendapatkan informasi pada zaman Industri 1.0 sampai 2.0 dahulu tidak semudah
yang kita rasakan hari ini. Dahulu hanya ada tiga cara untuk mendapatkan
berita; pertama, dengan menyaksikan secara langsung; kedua,
dengan mendengar ‘kabar angin’; atau ketiga, menunggu tulisan-tulisan di
surat kabar keesokan harinya. Semua dilakukan
hanya dengan interaksi antar-manusia. Hanya sedikit peran mesin dalam
penyebaran informasi kala itu.
Kemudian ketika kita sudah masuk ke era
Industri 3.0 di akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Muncullah sistem baru
dalam penyebaran berita. Radio akhirnya mulai digunakan secara lebih meluas.
Stasiun-stasiun televisi kemudian muncul dan menawarkan cara baru yang lebih
mudah untuk mendapatkan berita-berita baru. Percetakan-percetakan fisik juga
sudah dapat menghasilkan ribuan eksemplar cetakan koran atau tabloid hanya
dalam hitungan jam saja.
Namun lihatlah perubahan yang terjadi saat
ini, saat kita mulai memasuki era industri 4.0, stasiun-stasiun televisi tidak
lagi menjadi pilihan utama untuk kita dalam menyerap informasi. Koran-koran
mulai tidak lagi terbeli. Majalah-majalah dan berbagai jenis tabloid sepi
pelanggan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena sekarang masyarakat sudah
mendapatkan cara lain yang jauh lebih baik dalam menyerap informasi. Internet.
Dunia internet kini sudah tidak dirasakan
sebagai dunia kedua setelah dunia riil. Internet hemat ini sudah bisa
dikategorikan sebagai ‘dunia lain’ yang kedudukannya setara dengan dunia fisik.
Bahkan pada sebagian orang, dunia internet sudah menjadi dunia utamanya, tak
perlu interaksi dengan sesama manusia, asal ada internet, hidup tetap jalan. Di
sisi lain, penetrasi alat-alat elektronik yang mendukung terus berkembangnya
revolusi ini seperti Telepon Genggam, Tablet, Komputer portabel, dan sejenisnya
semakin dijual dengan harga yang rendah dan dengan target pasar internasional.
Sehingga semua kalangan dapat memiliki alat-alat tersebut dengan mudah dan
murah. Penyebaran informasi dengan medium internet pun terbilang sangat cepat
dan jangkauannya luas. Bayangkan saja, kejadian yang terjadi di sudut dunia
dalam hitungan detik beritanya dapat diakses di belahan dunia lainnya. Sangat
cepat dan meluas. Belum lagi penyebaran informasi melalui media sosial bak
Facebook, Instagram, WhatsApp, Line, dll. Dengan jepretan hengpong jadul,
cekrek, upload, share.
Singkatnya, era Revolusi Industri 1.0 dimulai
saat era mesin uap mulai eksis menggantikan peran manusia, sekitar tahun
1750-an. Era Revolusi Industri 2.0, mesin uap mulai tergantikan dengan
mesin-mesin yang memakai tenaga listrik dan minyak bumi, sumber daya yang saat
itu baru saja ditemukan penggunaan efektifnya. Mulainya era ini pada sekitar
tahun 1870-an. Kemudian era Revolusi Industri 3.0 dimana fungsi mesin mulai
bekerja otomatis, dengan sistem yang sudah terprogram, tak lagi perlu kendali
pergerakan dari manusia, hanya dengan kontrol dan pemrograman sstem, mesin
sudah bekerja sesuai kebutuhan. Lalu kini memasuki era Revolusi Industri 4.0,
dimana hampir seluruh komponen mesin menggunakan internet sebagai pusat
kendalinya. Sangat jauh lebih efektif, sistem bisa dikontrol dari manapun, dan
kapanpun.
Nah, dengan keadaan industri yang sebegitu
berubahnya, tentu saja persaingan global dalam mencari peluang usaha jauh lebih
ketat. Kini mencari pekerjaan bukan lagi
hanya sekedar menjadi lebih unggul dari pelamar lain, namun bagaimana caranya
agar kita tidak sampai bisa diperbudak oleh teknologi yang semakin maju.
Menyikapi revolusi yang berkembang cepat ini,
tentu para perusahaan-perusahaan mulai bergerak mempertahankan kelangsungan
usahanya. Mulailah mereka memburu mereka-mereka yang basis keilmuannya tak jauh
dari Ilmu Saintek. Menurut Dr. H. Adnan Ganto, M.B.A., Dewan Komisaris Morgan
Bank dan sekaligus Penasihat Menteri Pertahanan RI Bidang Ekonomi, dilansir
Serambi Indonesia mengatakan bahwa bidang keilmuan yang ditinggikan nilai
jualnya sebagai dampak dari Revolusi Industri 4.0 ini memunculkan tiga bidang
ilmu yang independen, yaitu fisika, digital dan biologi.
Mengutip sumber “Future of Jobs Report,
World Economic Forum”, terkumpul 10 prediksi pekerjaan dan skill
yang akan gencar dicari pada tahun 2020 kelak. Pertama; Complex
problem-solving atau pemecahan masalah secara kompleks, tidak bertele-tele,
kedua; Critical thinking atau mampu berpikir kritis, ketiga;
Creativity atau kreatif serta inovatif, tidak baku berkiblat ke rekam
sejarah, keempat; People management atau memiliki kemampuan manajemen
yang rapih serta teratur, kelima; Coordinating with others atau memiliki
kemampuan koordinasi yang baik dengan orang banyak, keenam; Emotional
intelligence, memiliki kecerdasan emosional yang baik, mampu mengontrol
emosi dengan baik, ketujuh; Judgement and decision-making atau mampu
mengeluarkan keputusan terbaik dari berbagai kemungkinan yang bisa terjadi, kedelapan;
Service orientation, berorientasi pada pelayanan, kesembilan;
Negotiation atau memiliki kemampuan negosiasi yang tinggi, berjiwa
diplomatik dan sebagainya, kesepuluh; Cognitive flexibility atau
berkemampuan kognitif, tidak kaku, tidak kolot.
Melihat perkembangan duniawi yang sudah tidak
main-main ini, tentu saja kita sebagai pelajar ilmu agama seringkali merasa
risih. Terkhusus para pelajar ilmu agama di Negara-Negara Timur Tengah seperti
Maroko. Pelajar dari ilmu yang tidak diunggulkan dalam segi perindustrian yang
semakin pesat, di Negara yang bahkan sistem belajarnya bisa dibilang tertinggal
10 tahun bahkan lebih dari kampus-kampus dari pelbagai Negara berkembang pada
umumnya. Bagaimana caranya kita, pelajar yang dalam keseharian akademiknya
acapkali disuguhi dengan demo makan gratis, bus gratis, dan sebagainya bisa
menghadapi dunia yang serba digital?
Di beberapa universitas umum di Indonesia
untuk menyikapi hal ini diberlakukan adanya mata kuliah agama yang sifatnya
wajib. Salah satu contohnya adalah Program UP3AI yang diberlakukan di
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Salah satu program yang ditawarkan adalah
mewajibkan mahasiswa dari fakultas-fakultas umum seperti Fakultas Kedokteran,
Fakultas Teknik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan dan sebagainya untuk
menghadiri majelis-majelis agama di waktu tertentu. Penulis pernah meninjau
secara langsung keefektifan program ini, namun berdasarkan apa yang dilihat,
para mahasiswa yang hadir malah seakan ‘hanya hadir’ ketimbang aktif dalam
forum tersebut. Rasa-rasanya, pengadaan program semacam ini tidak menambah
minat untuk mempelajari ilmu agama, namun malah membuat mereka mencari-cari
cara untuk bisa tidak hadir di forum tersebut.
Menyikapi masalah diatas, sudah sepatutnya masyarakat
mengharapkan andil kita, para pelajar ilmu agama dari luar negeri untuk ikut
memberikan solusi agar para masyarakat bisa sedikit lebih tertarik untuk aktif
mendalami ilmu agama. Bisa dengan adaptasi program yang didapat di luar negeri,
namun apa yang bisa kita harapkan dengan keadaan program-program kampus yang
ditawarkan oleh universitas-universitas di Maroko? Hampir tidak ada. Maka dari
itu, jika kita ingin ambil bagian dalam modernisasi pengajaran ilmu agama, mau
tidak mau kita harus bisa mencari solusi yang tepat untuk jaman yang tepat.
Diantara solusi yang bisa ditawarkan adalah,
dengan membuat Majelis Ta’lim berbasis online. Gerakan ini sudah mulai
digalakkan sejak empat sampai lima tahun belakangan ini, dimana sudah banyak ustadz-ustadz
yang disebarluaskan materi dakwahnya via internet, baik videonya yang di-share
melalui YouTube, Instagram, Facebook, dll. atau dalam bentuk tulisan
yang kemudian disebarluaskan di grup-grup diskusi digital. Walaupun seharusnya
gerakan-gerakan tersebut masih dikategorikan sebagai efek Revolusi Industri
ketiga, namun solusi tersebut dilihat masih cukup berhasil dalam menarik minat
masyarakat zaman sekarang untuk kembali giat belajar agama.
Selain itu, pengajaran agama yang dikemas
menjadi lebih modern juga dianggap merupakan solusi bagi kita para calon
pengajar agama untuk menyalurkan ilmu yang telah didapat. Diantaranya adalah
dengan penyampaian materi melalui presentasi digital, baik dengan mengandalkan
luasnya jaringan internet atau juga dengan presentasi bersifat offline seperti
powerpoint atau dengan animasi dan semisalnya. Dengan memetakan materi
secara lebih ringan dan menarik dan penyampaian yang dapat lebih diterima
masyarakat umum, dipercaya metode ini dapat lebih menarik minat masyarakat luas
ketimbang mewajibkan pendengar untuk hanya mendengarkan materi dari pengajar
yang membaca kitab-kitab klasik di depannya. Bisa juga, dengan mengadakan suatu
kerjasama dengan pakar IT untuk kemudian bersama mengembangkan aplikasi
tanya-jawab agama berbasis internet, dengan memasukkan sebanyak mungkin data
yang dikutip dari banyak kitab dan buku-buku islam, untuk kemudian
dikategorikan sesuai bab dan permasalahan.
Tentu saja kita tidak bisa memaksa orang-orang
untuk ikut dengan metode yang kita tawarkan. Katakanlah kita menawarkan
program-program yang dipakai di kampus-kampus Maroko. Masuk kelas, mendikte
berlembar-lembar, menjelaskan sedikit, kemudian mendekati waktu ujian
memberikan bahan ujian untuk kemudian dihafalkan oleh para mahasiswa. Mungkin
belum genap setahun, datang surat pemberhentian kerja di atas meja kerja kita.
Jadi kitalah yang harus bisa menyesuaikan diri dengan apa yang terjadi di
sekitar kita. Jika dunia sekarang ini adalah dunia digital, maka cara terbaik
untuk berkomunikasi dengan mereka adalah dengan masuk ke dunia digital. Toh, ‘Aamilin-naasa
bi-akhlaaqika laa bi-akhlaaqihim’ agaknya tak selalu efektif
pengaplikasiannya era sekarang ini.
Maka dapat disimpulkan bahwa para pengajar
ilmu agama di tengah Revolusi Industri keempat ini tetap dapat memberikan peran
maksimal dengan cara lebih bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman.
Sehingga kemudian tidak terjadi adanya batas antara mereka-mereka pelaku
industri dan mereka yang mendalami ilmu agama. Mau tidak mau, kemampuan
mengoperasikan alat-alat digital di era seakrang ini mutlak merupakan sebuah
keharusan. Jika tidak, maka siapa yang menyalahkan siapa jika pada akhirnya
ilmu agama semakin lama semakin tenggelam akibat sepi peminat. Juga, angaplah
ini merupakan bentuk sebenar dari aksi bela agama, mungkin. Maka sepatutnya
kita takboleh malas untuk juga sedikit mendalami ilmu perteknologian, agar nantinya,
ilmu yang telah kita pelajari dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luas. Manfaatkan
perkembangan teknologi saat ini sebagai medium dakwah, jangan malah dianggap
sebagai penghalang dakwah Islam. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar