Sunan Kalijaga merupakan sosok yang sangat kental dalam gagasan akulturasi budaya. Beliau adalah salah satu dari sembilan Walisongo yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Perkembangan Islam khususnya di Pulau Jawa pun tidak dapat dilepaskan dari peranan Walisongo yang dengan gigih berdakwah kepada masyarakat dengan cara santun dan melalui pendekatan budaya dan adat-istiadat. Dapat diartikan bahwa dakwahnya Walisongo tidak menghina atau melunturkan adat istiadat mereka dari keturunan leluhurnya.
Dalam dakwah, beliau mempunyai pola paham keagaaman yang
cenderung sufistik berbasis salaf. Selain itu, beliau juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Hal ini karena Sunan Kalijaga sangat
toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendirian dan cara pandangnya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap. Mengikuti sambil mempengaruhi. Metode dakwah tersebut dinilai sangat
ampuh dan efektif. Sebagian besar Adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan
Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas,
serta Pajang.
Raden Mas Said, anggota Walisongo yang sohor dengan
panggilan Sunan Kalijaga adalah tokoh yang sangat berperan dalam pemaknaan
tradisi ketupatan saat hari raya. Dalam
tradisi jawa ada dua hari raya selepas bulan Puasa. Yaitu pada tanggal 1 Syawal dan 8 Syawal. Sebelum
lebaran kedua (8 Syawal) umat Islam dianjurkan puasa sunah syawal (syawalan) yang dimulai
sejak tanggal 2 Syawal sampai 7 Syawal.
Lebaran ketupat diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri,
dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan
kemakmuran. Ia dewi tertinggi dan terpenting dari masyarakat agraris. Ia
dimuliakan sejak masa kerajaan kuno seperti Majapahit dan Pajajaran. Dalam
pengubahsuaian itu terjadi deklarasi dan demitologisasi. Dewi Sri tak lagi dipuja
sebagai dewi padi atau kesuburan tapi hanya dijadikan lambang yang
direpresantikan dalam bentuk ketupat yang bermakna ucapan syukur kepada Tuhan.
Tradisi lebaran ketupat, yang notabene berasal dari
wilayah pesisir utara Jawa, tempat awal penyebaran Islam, tak kuat
pengaruhnya di pedalaman. Hanya sejumlah wilayah pesisir utara yang
hingga kini menganggap lebaran ketupat, biasa disebut “hari raya kecil”,
sebagai lebaran sebenarnya seperti Kudus, Pati, dan Rembang. Secara
esensial, tak ada yang membedakan antara lebaran ketupat dengan lebaran hari
raya Idul Fitri. Keduanya punya makna yang sama.
Menurut Slamet Mulyono dalam kamus Pepak Bahasa Jawa, kata ketupat berasal dari
kata kupat. Paraphrase kupat adalah ngaku lepat: mengaku bersalah. Janur atau
daun kelapa yang membungkus ketupat merupakan kependekan dari kata “jatining
nur” yang bisa diartikan hati nurani. Secara filosofis beras yang dimasukan
dalam anyaman ketupat menggambarkan nafsu duniawi. Dengan demikian bentuk
ketupat melambangkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani.
Bagi
sebagian masyarakat Jawa,
bentuk ketupat (persegi) diartikan dengan kiblat papat limo pancer. Papat dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin
utama; timur, barat, selatan, dan utara. Artinya, ke arah mana pun
manusia akan pergi ia tak boleh melupakan pacer (arah) kiblat atau arah kiblat
(salat). Rumitnya anyaman janur untuk membuat ketupat merupakan simbol dari
kompleksitas masyarakat Jawa
saat itu. Ayaman yang melekat satu sama lain merupakan anjuran bagi seseorang
untuk melekatkan tali silaturahmi tanpa melihat perbedaan kelas sosial.
tidak
hanya berperan penting dalam pemaknaan tradisi ketupatan, Raden Mas Said
mempunyai banyak karya agung yang
masih dilestarikan sampai era digital saat ini. Melalui kearifan lokal
berbentuk pembangunan masjid Agung Demak, kesenian wayang bernuansa islami dan tembang/lagu Ilir-ilir, dakwah Sunan Kalijaga mampu mendapatkan
hati dan tempat terbaik di kalangan pengikutnya. Ini membuktikan bahwa proses
Islam Nusantara yang menggabungkan kebudayaan lokal dan Islam sudah berlangsung
sejak dulu sebagaimana sukses dipraktekkan
Sunan Kalijaga. Beliau menyebarkan agam Islam dengan model kebudayaan yang mampu
beradaptasi dengan nilai lokal. Sunan Kalijaga mempunyai prinsip mempertahankan
budaya atatu tradisi yang lama, serta
memasukkan nilai Islam
yang awalnya dianggap asing menjadi agama yang diterima oleh masyarakat
khususnya penduduk pulau Jawa yang didakwahkan oleh Walisongo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar