“woi! Seenaknya aja manggil nabi dengan begitu. Punya adab gak sih?” pasti
anda berpikir seperti itu ketika membaca judul di atas. kalau tidak, berarti
cuman saya yang mikir gitu. Sengaja saya milih judul yang sedikit kurang ajar.
Tujuannya untuk menarik anda membaca tulisan ini, karena saya sendiri juga
tidak pernah membaca tulisan mingguan punya teman-teman apalagi kalau judulnya
pakai bahasa berat-berat. “ngaji kitab aja sudah berat, mau ditambah lagi baca
tulisan beratnya warga PPI Maroko . Gak mau lah”.
Sebenarnya membahas bahasa berat atau bahasa yang ringan juga asik. Sedikit
tambahan, saya pernah nonton video dari NASdaily di instagram, dia ngomong
kalau alasan kenapa Donald Trump menang di pilpres sebelumya salah satunya
kampanye Trump yang luar biasa ramai. Kenapa? Dia pakai kata-kata yang mudah
dipahami. Contohnya capres yang lain pakai kata “profesi” atau kata sinonim
lainnya. Si Trump malah pakai kata “pekerjaan”. Pada akhirnya, warga amerika
yang tidak begitu biasa pakai bahasa-bahasa berat, merasa lebih cocok dengan
Trump. Jadilah Trump presiden Amerika Serikat.
Oke, kembali ke judul utama! Pernahkah kalian mendengar ucapan “الإسلام Ù…ØØ¬ÙˆØ¨ بالمسلمين” (Keindahan Islam terhalang oleh perbuatan kaum muslimin
sendiri)? Saya langsung jatuh cinta pertama kali mendengar kalimat ini. “Anjir,
ngena banget nih” begitulah pikir saya. Dimulailah pencarian siapa tokoh yang
membuat kalimat indah ini. Sampai saya baca novel Habiburrahman el-Shirazi, Api
Tauhid kalau saya tidak salah, di sana saya bertemu lagi dengan kalimat ini,
yang ternyata diucapkan oleh ulama Mesir bernama Syekh Muhammad Abduh.
Muncullah rasa kagum dalam diri saya. Ditambah lagi semester 2 di Maroko ada
pelajaran Fikr Islami, pasti diulang-ulang terus nama beliau. Sampai
saya taruh judul buku-buku beliau ke dalam list kitab yang ingin saya beli di
hape. Siapakah beliau? Singkatnya Mufti Mesir, Jurnalis, Qodli, bahkan
Mujaddid. Lengkapnya? Silahkan cek di Wikipedia!
Lha, apa hubungannya beliau sama judul di atas?
Ternyata, dibalik kehebatan dan kecerdasan beliau, ada satu pembahasan yang
menarik. Tentu sebagai muslim yang hakiki -apalagi santri dan mahasiswa- kita
semua harus tahu apa itu makna kenabian, kerasulan, dan wahyu. Gampangnya Nabi
adalah Utusan Allah, merekalah manusia pilihan yang langsung diajari dan diberi
ilmu serta berita langsung dari Sang Pencipta. Ilmu dan berita inilah yang
diberi nama wahyu. Definisi ini sudah jadi kesepakatan kaum muslimin. Oke, ini
harus dipahami dulu.
Tapi, Syekh Muhammad Abduh memahami kenabian dan
wahyu agak nyeleneh. Beliau menafsirkan Nabi adalah seorang genius yang
memiliki kecerdasan luar biasa, sampai tingkatan tidak pernah salah. Kecerdasan
inilah yang beliau artikan sebagai wahyu.
Kalau anda masih bertanya-tanya “emang nyeleneh
dari mana? Kan Nabi memang pintar, genius bahkan Fathonah itu salah satu
sifat wajib Nabi”. Oke, mari saya jelaskan.
Perbedaan paling penting antara definisi Nabi
menurut mayoritas dengan definisi Nabi menurut Syekh Muhammad Abduh terletak
pada hubungan manusia dengan Allah. Mayoritas mengatakan Nabi itu literally
dapat berita dari Allah, sedangkan menurut Syekh Muhammad Abduh tidak ada itu
berita langsung dari Allah, yang ada hanyalah pemberian Ilahi dalam bentuk
kecerdasan luar biasa. Coba bayangin ada 2 orang datang ke kita, keduanya ngaku
Nabi, tapi beda makna. Yang satu ngaku Nabi dapat berita dari Tuhan, yang
satunya ngaku genius banget. Efeknya pasti beda kan? Yang pertama kita bakalan
kaget, pastilah kita minta bukti kalau dia itu Nabi beneran, buktinya apalagi
kalau bukan mukjizat. Nabi kedua -waktu dia ngaku Nabi dalam arti genius- kita
pastinya oh saja. “yaudah lo pinter, terus kenapa?” kira-kira seperti itulah
yang terjadi.
Lalu, yang menjadi masalah selanjutnya kalau kita
memaknai Nabi seperti Syekh Muhammad Abduh adalah kita jadi skeptis, insecure
sama mukjizat. “mukjizat beneran ada gak ya?”. Soalnya kita sudah tidak lagi
mempercayai adanya hubungan Allah dengan Nabi secara langsung, menurut kita
hubungan ini tidak masuk akal, apalagi mukjizat, dongeng belaka. Dan beneran
terjadi pemikiran kayak gini pada zaman Syekh Muhammad Abduh di Mesir. Atas
nama “Mengoreksi Kembali Pemahaman Beragama” pemikir-pemikir mepertanyakan
bahkan menafikan mukjizat selain Alquran. Untuk membenarkan pemahaman ini, mereka
sampai pakai dalil Ayat Quran (قل إنما الآيات عند الله), juga
akal-akalan mereka “Nabi tidak mungkin memberikan umatnya sesuatu yang tidak
bisa dipahami apalagi tidak masuk akal seperti mukjizat” dan seterusnya.
Sampai terbit juga buku sejarah judulnya ØÙŠØ§Ø© Ù…ØÙ…د (Kehidupan Muhammad) karangan Husein Haikal. Judulnya sih keren
tapi berulang kali disana tertulis “dalam penulisan buku ini saya tidak
mengikuti buku-buku sejarah ataupun buku hadits, karena saya lebih memilih
metode ilmiah”. Begitu terkenalnya buku ini sampai salah satu siaran radio
Israel pada waktu itu menyiarkan pembacaan buku ini. Di luar keliatannya bagus,
ingin menyebarkan ajaran islam, dan sejarah Nabi Islam. Tapi dalamnya, ingin
merusak aqidah umat.
Juga muncul tafsir-tafsir Quran yang-dalam tanda
petik- sangat luar biasa. Seperti contohnya tafsir surat al-Fiil yang
mengartikan batu yang dilempar burung Ababil itu dengan wabah penyakit atau
virus mematikan dan semacamnya. Tafsir-tafsir ini juga datang dari
“Mengoreksi Kembali Pemahaman Beragama”.
Bagi anda yang bertanya “Woi! Kamu siapa sampai
berani mengkritik ulama dunia seperti Syekh Muhammad Abduh? Ngaji aja baru
kemarin udah berani-berani main kritik”. Saya juga sebenernya gak berani, tapi
yang saya tulis ini ada di kitab Dr. Ramadan al-Bouti berjudul كبرى اليقينيات الكونية. Silahkan baca pada bab Nubuwwah! Disana jauh lebih sempurna
dan juga dilengkapi dalil lebih lanjut kalau anda masih tidak percaya kalau
definisi Nabi menurut Syekh Muhammad Abduh ini tidak benar. Ada juga di sana
asal muasal pemahaman seperti ini, intinya sih muncul dari barat, Inggris lebih
khususnya, dengan tujuan merusak aqidah Islam warga Mesir. Serta dari kekaguman
dunia terhadap ilmu Sains ala barat, sampai mempertanyakan kebenaran mukjizat. Bahkan
mereka menyebut definisi Nabi menurut mayoritas dengan Fanatisme Agama.
Sayangnya, pemahaman tahun 1900 di Mesir ini,
muncul juga di negri kita Indonesia di abad 21. Seperti muncul buku berjudul Adam
bukan manusia pertama?. Juga muncul artikel Menyegarkan Kembali Pemahaman
Islam di internet yang isinya -sesuai dengan judul diatas- memanusiakan kembali
Muhammad, dalam arti tidak perlu lagi kita ikuti ajaran Nabi Muhammad, cukup
ikuti makna-makna tersirat, tak perlu makna tersurat juga diikuti. Atau boleh
dibilang kebalikan 180 derajat dari mazhab Dzohiriyah.
Salah satu pesantren yang aktif dalam mengkritik
pemahaman seperti ini adalah pondok pesantren Sidogiri, ponpes yang umurnya
hampir mencapai 3 abad. Tapi ironisnya, malah ponpes Sidogiri yang dituduh
anti-mainstream atau dalam arti lain tidak sejalan dengan pendapat jumhur.
Siapa yang benar? Silahkan tanya hati nurani anda sendiri!
Ajakan-ajakan Tajdid atau memperbarui agama tentu
sangat menarik. Terlebih di zaman ini, dibumbui dengan hadits Nabi tentang
munculnya Mujaddid di setiap 100 tahun, sedap sekali. Tapi hati-hati! Karena
-menukil dari Syekh Maulud as-Sariry, Ketua Madrasah Tinkirt- Tajdid itu
bermakna menghidupkan, dan mengembalikan lagi ajaran salaf, bukan malah
mengubah seenak jidat ajaran Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar